Lihat ke Halaman Asli

Semuel S. Lusi

TERVERIFIKASI

Penulis

Pro-Kontra Perda Agama, NKRI di Mana?

Diperbarui: 18 Desember 2018   06:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: detik.com

Sikap politik PSI (Partai Solidaritas Indonesia)  yang tegas menolak Perda Agama, baik Syariah, Injil, maupun sejenisnya, berbuah tuduhan ujaran kebencian. Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) melalui kuasa hukumnya Eggi Sudjana melaporkan kasus itu ke Bareskrim Keploisian RI. 

Sikap PSI itu disampaikan langsung oleh Ketua Umumnya Grace Natalie pada perayaan Ultah partai yang ke-4 bertempat di Indonesian Convention Exhibition (ICE) Tangerang, Banten, 11 November 2018.  Sikap PSI didasarkan pada argumen bahwa Perda agama berpotensi menciptakan ketidakadilan, diskriminasi dan intoleransi. Apakah argumen ini berdasar?

Eggi menganggap pernyataan Grace yang menyebut penerapan Perda berbasis agama memunculkan intoleransi, diskriminatif, dan menimbulkan ketidakadilan sebagai bentuk kebohongan publik. Lebih lanjut, pernyataan Grace dianggap bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran. 

"Ini limitasi, pasalnya bisa dikaitkan dengan Pasal 156 A juncto Pasal 14 dan 15 Undang-Undang No 1 Tahun 1946 tentang memberikan ujaran yang bohong," kata Eggi seperti dikutip Detik.com

Sejumlah komentar dari kelompok yang pro Perda Syariat berargumen dari perspektif kepentingan penganut agama Islam, dan cenderung menyamakan kubu penolak syariat dengan PKI, partai yang telah dinyatakan terlarang pasca Gerakan 30-S tahun 1965.

Direktur Pencapresan PKS Suhud Aliyudin misalnya, pernah menyebut semangat menolak agama bertentangan dengan Pancasila. Bahkan, ia menyamakan dengan PKI, dengan penegasan bahwa hanya PKI yang menolak agama. Hal senada juga disampaikan oleh Novel Bamukmin dari FPI, yang menyatakan sikap menolak Perda Syariah sebagai gaya-gaya komunis yang hendak dihidupkan kembali. Perlu diberi catatan kritis pada pernyataan Aliyudin di atas yang  menggeser persoalan, dari "menolak perda agama' ke "menolak agama," sebab keduanya punya implikasi yang amat jauh berbeda.

Tidak sedikit pula pihak yang pro atau setidaknya memahami sikap Grace. Peneliti dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Luthfie Assyaukanie menilai ucapan PSI benar adanya. Sebab, Perda berbasis agama sudah terbukti memunculkan persoalan diskriminasi dan intoleransi. Luthfie menilai perda berbasis agama kerap kali merugikan kaum perempuan. 

"Karena korban pertama dari Perda Syariah itu perempuan," kata Luthfie. "Selain itu, perda berbasis agama kerap tak efektif mencapai tujuan penerbitannya, sebab tidak bisa menjawab masalah yang muncul," demikian ujarnya, seperti dilansir katadata.co.id.

Alissa Wahid, putri Presiden kelima, Abdulrahman Wahid atau  Gus Dur  menyatakan bahwa Perda Syariah dan Perda berbasis kepentingan kelompok agama lainnya sama-sama bersifat mayoritarianistik, karena melayani satu golongan saja, yang biasanya mayoritas. Sikap menolak Perda agama juga ditegaskan oleh PDIP  melalui Sekjen-nya Hasto Kristiyanto. 

Menurut Hasto  Perda syariah dan injil hanya menimbulkan diskriminasi terhadap warga negara. Namun, PDIP mengecualikan NAD yang merupakan salah satu Daerah Istimewa yang ditetapkan oleh pemerintah. Suara dukungan lainnya juga datang dari tokoh agama dan negarawan seperti Mafmud M.D, Syafei Maarif, dan lainnya. Para praktisi pun memberi komentar yang substansinya menyokong sikap politik PSI dengan menunjuk sejumlah bukti hasil pengamatan dan dokumen pengaduan. 

Dilansir dari CNNIndonesia (30/11/2018), anggota Komnas Perempuan, Magdalena Sitorus mencatat terdapat setidaknya 421 Perda diskriminatif terhadap perempuan yang terbit sejak 2009. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline