Anda tentu mengenal subak, 'sistem pengelolaan persawahan' di Bali yang amat popular dan mendunia itu. Orang Rote pun memiliki sistem yang mirip, tetapi lebih luas dari subak. Dalam bahasa Rote disebut lalaa, yang sesungguhnya menunjuk pada sebuah areal pertanian yang terkelola secara tersistem. Terdapat dua bentuk lalaa, yaitu lalaa sawah, dan lalaa mamar. Tentang lalaa sawah akan saya tuliskan untuk Anda dalam kesempatan lain.
Lalaa, baik lalaa sawah maupun mamar menyimpan jejak praktek demokrasi lokal warisan nenek moyang Rote yang masih terawat baik. Sebagai 'pelembagaan demokrasi' ia memiliki semacam sistem pemerintahan yang kerap juga melampaui otoritas birokrasi negara seperti aparat desa, PNS maupun 'status modern' lainnya. Memahami demokrasi nasional (demokrasi Pancasila) bisa juga dilacak dari akar-akarnya dalam praktek masyarakat pedesaan. Lalaa dan subak merupakan dua di antara model lainnya yang mudah ditemukan di kebanyakan komunitas perdesaan Indonesia.
Berbeda dengan subak (lalaa sawah), mamar merupakan bentuk lalaa perkebunan yang umumnya didominasi tiga jenis tanaman yaitu kelapa, pinang dan sirih. Ketiga jenis tanaman ini memiliki peran penting dalam berbagai ritual ada maupun kebiasaan keseharian. Masyarakat Rote, terutama di masa lalu merupakan pemamah sirih dan pinang.
Di rumah-rumah penduduk selalu tersedia ndunak,wadah yang di dalamnya terdapat sirih, pinang, kapur dan tembakau. Kepada setiap tamu akan diserahkan ndunak oleh tuan rumah. Sebaliknya, sang tamu akan menyerahkan alkosu-nya kepada tuan rumah. Alkosu adalah tempat menyimpan siri, pinang, kapur dan tembakau yang selalu dibawa oleh orang-orang Rote dewasa. (Aneh, bukan? Bayangkanlah, Anda bawa rokok jago dan pemantik bertemu teman Anda yang juga punya rokok jago dan pemantik. Anda menyerahakan rokok dan pemantik kepadanya, demikian sebaliknya, barulah Anda berdua menghisapnya, mungkin dengan secangkir kopi panas suguhan tuan rumah). Begitu pun dalam acara-acara adat, misalnya belis (mahar), kebun sirih, pinang atau kelapa dapat menjadi properti pelengkap hewan sebagai mahar. Itulah sebabnya, lalaa mamar di Rote pada umumnya sudah berusia ratusan tahun.
Manaholo Sebagai "Penguasa" Lalaaa Mamar.
Pengurusan atau manajemen lalaa mamar dipercayakan kepada sejumlah orang pilihan, yang disebut manaholo. Karena itu ada jabatan kepala manaholo, wakil, dan anggota. Mereka ini dapat juga disebut sebagai kepala atau pimpinan lalaa.
Melalui forum musyawarah tahunan, yang dalam bahasa lokal disebut 'laa oe,' para pemilik lahan di lalaa mamar berkumpul di Pandopo untuk memilih manaholo. Jumlahnya bervariasi, tergantung pada luasan mamar dan kesepakatan bersama yang diperkirakan akan efektif dan fungsional menangani atau mengurus lalaa. Biasanya antara 8-15 orang di setiap pintu masuk. Karena selalu ada dua pintu masuk dari dua arah maka total manaholo di satu lalaa sekitar 16-30.
Ada jabatan-jabatan atau status tertentu yang tidak boleh dipilih menjadi manaholo, yaitu ulama (biasanya pendeta karena di Talae 100% penduduknya beragama Kristen), PNS (umumnya guru), tokoh adat, Kepala Desa dan bawahannya. Perempuan dan anak-anak tentu juga termasuk yang tidak boleh dipilih.
Kelompok masyarakat yang tidak tergolong dalam kategori 'tidak boleh dipilih' di atas harus bersedia bila dipilih menjadi manaholo. Biasanya semua anggota masyarakat warga lalaa akan diberi kesempatan secara bergilir setiap tahun. Bila ada anggota yang selayaknya mendapatkan giliran menjadi manaholo, namun karena alasan tertentu belum bisa menerima jabatan itu untuk periode laa oe berjalan, ia dapat meminta orang lain menggantinya sehingga dia baru akan diberi giliran pada periode laa oe (pemilihan) berikutnya.
Laa oe merupakan forum msuyawarah. Setiap pemilik lahan (perusa) atau warga lalaa datang dengan membawa beras dan lauk. Makanan dan lauk diatur untuk makan bersama. Manaholo yang akan demisioner memberi laporan tentang keadaan lalaa, serta masalah-masalah potensil yang dihadapi selama mengurus. Apabila ada masalah / kasus yang belum diselesaikan akan diselesaikan dalam forum laa oe. Setelah itu, para manaholo akan mengusulkan nama-nama yang akanb menjadi manaholo tahun berikutnya. Nama-nama itu dimintai kesediaan dan mendapat masukan dari warga lala, lalu disepakati sebagai manaholo terpilih dengan masa jabatan satu tahun. Tidak pernah orang berebutan menjadi manaholo, apalagi menyuap demi menduduki jabatan itu.
Manaholo berwewenang memberi ijin atau melarang seseorang masuk ke dalam mamar. Biasanya orang yang telah beberapa kali melanggar aturan lalaa, misalnya mengambil hasil milik orang lain, dapat diberi sanksi tidak boleh masuk lalaa untuk beberapa waktu. Manaholo juga bertugas memastikan pagar-pagar pelindung lalaa benar-benar aman sehingga hewan tidak dapat masuk dan merusak tanaman (dalam bahasa lokal disebut parusa) di dalamnya.
Apabila ada pagar yang bermasalah, ia akan menyampaikan ke penanggungjawab (pemiliknya) agar segera memperbaiki. Bila tidak diperbaiki sehingga hewan, misalnya kerbau, babi, atau kambing masuk lalaa dan merusak tanaman orang lain, maka pemilik pagar yang bermasalah itu dikenai denda membayar kerugian yang diakibatkan. Makanya, tugas manaholo tidaklah mudah. Setiap pagi mereka harus berkeliling mengecek keadaan pagar pelindung mamar.
Pada sore hari kembali berkeliling untuk mengeceknya lagi agar memastikan keadaan terakhir hari itu masih 'aman terkendali." Mengapa demikian? Agar bila terjadi kerusakan pagar, manaholo bisa memastikan waktu kejadian; hari / tanggal, dan apakah pada waktu siang atau malam? Bila ketahuan lalaa dimasuki hewan, padahal manaholo tidak mengetahui dan tidak pernah memberitahu pagar yang rusak kepada pemilik pagar untuk diperbaiki, maka manaholo-lah yang harus mengganti kerugian, berapa pun banyaknya.