Lihat ke Halaman Asli

Semuel S. Lusi

TERVERIFIKASI

Penulis

Hus, Keunikan Pacuan Kuda Tradisional Rote NTT

Diperbarui: 6 Agustus 2017   23:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tradisi Hus (Ananias Petrus/Merdeka.com). 2017 Otonomi.co.id

Pacuan kuda di Rote-Ndao (Ronda), Kabupaten terselatan di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini merupakan praktik budaya yang telah lama dijalani. Itulah sebabnya akrab dikenali dalam bahasa lokal (Rote) sebagai Hus. Sebagai bagian dari tradisi, hus bukanlah kompetisi (pacuan), melainkan semacam 'tarian berkuda' dimana secara massal para lelaki Rote menghias kuda-kudanya dengan bendera, kain adat dan atribut dekoratif lainnya untuk kepentingan ritual. Para joki juga mengenakan pakaian adat dengan topi khas lelaki Rote, yaitu Ti'ilanga.  

Tidak juga mengalaskan pelana di punggung kuda melainkan bahan anyaman yang dilipat-lipat sehingga cukup 'layak dan nyaman' dijadikan alas. Saya membayangkan, kemungkinan di zaman dulu fungsi pelana digunakan kain-kain adat hasil tenunan. Sejauh ini saya belum menemukan dokumen tertulis maupun foto/gambar yang mengkonfirmasinya, tetapi khususnya dalam ritual hus memiliki alasan logis lantaran menjadi bagian dari atribut penghias.   

Hakikatnya, hus merupakan upacara pertanian yang menjadi jantung kehidupan masyarakat Ronda. Jadi, di zaman 'pra agama' hus sama sekali tidak sekadar terkait pacuan kuda, melainkan ritual adat yang kompleks meliputi serangkaian upacara syukuran dan doa pemujaan kepada Yang Kuasa serta permohonan berkat bagi kesejahteraan dan kemakmuran. Rangkaian kegiatan itu adalah doa, kebalai (tarian massal dengan lantunan narasi berisi kisah kehidupan, nasehat-nasehat bijak, dan sejenisnya), kontes kuda hias atau semacam 'tarian kuda,' juga pacuan. 

Biasanya diadakan sesudah panen padi untuk mensyukuri berkat atas hasil panen yang diperoleh, sekaligus doa meminta kesuburan, kemakmuran dan kelimpahan untuk persiapan musim tanam berikutnya maupun secara umum. Misalnya doa meminta hujan, mata air yang deras, kesehatan bagi masyarakat dan bagi hewan ternak, hasil nira (lontar) yang lebih baik, hasil laut yang melimpah, dan sebagainya.

Di zaman modern, hus mulai ikut bergeser, bahkan menciut menjadi sekadar sebuah lomba pacu sebagaimana lazimnya. Pada era kolonialisme Belanda, hus dalam bentuk pacuan kuda kerap diselenggarakan dalam rangka perayaan hari ulang tahun Ratu Belanda. Kemudian juga dilakukan untuk menyongsong tahun baru.  Jadi, hus yang dipersepsikan oleh agama modern (khusunya Kristen Eropa) secara negatif sebagai sosongok(ritual doa pada Tuhan dalam tradisi agama lokal) digeser makna dan fungsinya. 

Sebelumnya, hus merupakan detak jantung kebudayaan dengan jejaring makna yang luas mencakup nilai spiritual, moral, bahkan juga nilai estetik dengan 'roh' komunalitas yang kental. Lalu, berubah menjadi sekadar instrumen hiburan melalui 'kompetisi keras' yang bersifat individualitik. Nilai mistik hus tergerus oleh 'pusat orbit' baru yang dibawa oleh 'agama dan budaya modern.'

Tetapi, tentu saja tidak serta merta jejak autentisitas hus terhapus begitu saja. Ketika 'tradisi pacu' (yang lebih mementingkan kompetisi) dibawa orang-orang Eropa merambah  orang Rote tetap membawa-serta tradisi hus didalamnya, yaitu yang juga mementingkan estetika. Jadilah kompetisi pacuan yang memainkan dua kelas. Pertama, disebut Kua, di mana semua kuda yang berlomba berpacu di arena balapan mengadu kecepatan. Seperti lazimnya, pemenang adalah yang terlebih dahulu tiba di garis finish. Kedua, yaitu Tao lalaok.  

Tidak seperti yang terdahulu, kelas ini lebih mengusung 'nilai artistik" dalam berpacu. Pemenang tidak hanya dinilai dari kecepatan mencapai garis akhir, melainkan juga 'keindahan berlari.' Kuda-kuda yang beradu 'hanya' berjalan cepat. Atau lebih tepatnya disebut sebagai lomba 'jalan cepat dan indah.' Bila dilakukan secara massal, seperti dalam praktek tradisi aslinya, akan lebih mirip sebagai 'tarian berkuda' yang menampilkan performa mempesona. Itu tidak mengherankan, sebab, sekali lagi, merupakan bagian utuh dari 'upacara pemujaan' kepada Tuhan.

Sebelumnya, tradisi 'hus' sudah bisa dikatakan mati suri. Beruntunglah, di bawah kepemimpinan bupati Drs.Leonard Haning,MM., praktek-praktek budaya, termasuk hus digiatkan kembali. Meski oleh perkembangan modernisasi telah mengalami 'abrasi makna,' namun  setidaknya telah mengangkat kembali kekayaan budaya lokal dari hiruk-pikuk modernisme yang terkesan rakus menelan tradisi-tradisi lokal.

Itulah alasan utama, mengapa menurut saya kelas tao lala'ok yang unik dan khas Rote itu sebaiknya dijadikan nomor unggulan untuk mencirikan Ronda. Di kelas ini si Joki perlu memiliki keahlian ekstra. Sebab dia tidak sekadar memacu kudanya berlari cepat melainkan dengan 'gaya dan seni main' tali kendali (kekang) joki harus mampu mempertahankan 'cara berlari' kudanya sehingga tetap indah, tidak melompat, atau berlari cepat (kua). Kuda balapan yang melanggar ketentuan ini sudah pasti didiskualifikasi.

Bupate Ronda, Lens Haning (paling kiri) berada di atas kuda pada acara hus (Sumber: http://www.portalntt.com/bupati-dan-ketua-dprd-rote-ndao-tidak-mendapat-penghormatan-di-acara-adat-pacuan-kuda/)

Seingat saya, di waktu lalu ketika saya masih kanak-kanak (sekitar akhir 1970-an), di nomor ini ada joki yang berani memamerkan gaya yang sangat atraktif. Namanya Liu. Ia kerap meletakkan sebuah gelas berisi penuh air di atas telapak tangan satunya, dan menarik kekang dengan tangan lainnya, membalapkan kuda hingga mencapai garis akhir dengan posisi air yang tetap penuh. Jadi, bisa dibayangkan betapa unik dan atraktifnya kelas balapan 'berjalan cepat sambil menari' ini.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline