Lihat ke Halaman Asli

Semuel S. Lusi

TERVERIFIKASI

Penulis

Raja Salman "Lebih Pancasilais" daripada Habieb Rizieq?

Diperbarui: 8 Maret 2017   02:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz Al Saud (kiri) didampingi Presiden Joko Widodo berbincang dengan Menko PMK Puan Maharani (kanan) di Istana Bogor, Jawa Barat, Rabu (1/3/2017). Raja Arab Saudi tersebut menyatakan kekagumannya kepada sosok Bung Karno saat berbincang dengan Puan yang sempat dipanggilnya langsung dalam upacara kenegaraan penyambutan Raja Salman. TRIBUNNEWS/HO

Seperti diketahui, ketika tiba di istana kepresidenan Bogor, raja Arab Saudi, Sri Baginda Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud (raja Salman)  menanyakan cucu Soekarno. Seakan-akan, orang pertama yang dicarinya di Indonesia justru tokoh pendiri bangsa itu. Mengapa bukan Habieb Rizieq misalnya, yang selama ini mengesankan diri sebagai “sangat Arabik,” juga paling Islami?  Sebagai catatan, dalam tulisan ini Habieb Rizieq tidak semata-mata menunjuk pada Imam Besar FPI, melainkan juga sebutan untuk semua penganut Islam garis keras.

Raja Salman bahkan menyediakan waktu khusus bertemu anak cucu Soekarno selama 15 menit. Sempat berselfie pula. Dengan riangnya baginda raja menulis di akun @Kingsalman: “Tidak bisa menyembunyikan kesenangan. Mantan Presiden RI Megawati dan anaknya, Menteri Kebudayaan sekarang sedang berselfie dengan Raja Salman di hadapan Presiden Jokowi” (Sumber). 

Ini berbanding terbalik dengan Habieb Rizieq, yang telah berusaha keras bertemu namun tak kesampaian. Meski sudah dibantu konco-konconya di DPR yang mengundangnya hadir mendengar pidato Sri Baginda Raja tanggal 2 Maret 2017 di gedung DPR, namun tidak ada garansi ia bisa bisa bertemu, bahkan sekadar bersalaman pun. Apa pesan dibalik fenomena ini? 

Bukan kebetulan raja Salman menanyakan cucu sang proklamator. Soekarno, Presiden pertama kita adalah tokoh dunia yang menanamkan banyak kesan baik dan terobosan yang mengharumkan nama Indonesia. Sejumlah gebrakannya, antara lain menjadi pendiri gerakan Non Blok bersama Gamal Abdul Nasser (Presiden Mesir), Jose Tito (Presiden Jugoslavia), Jawaharlal Nehru (PM India), Konferensi Asia Afrika (KAA), pendiri GANEFO (Games of the New Emerging Forces) sebagai tandingan Olimpiade, dsb-nya menempatkan Indonesia yang baru merdeka pasca Perang Dunia II itu di latar depan politik dunia dibandingkan negara-negara baru lainnya. Bukan hanya itu. Kontribusi Soekarno bagi Islam dan dunia Arab juga banyak, antara lain menyelamatkan rencana penutupan Universitas Al-Azhar Mesir dari ancaman penutupan oleh Presiden Gamal Abdel Nasser karena kepentingan politik, berperan menghijaukan padang Arafah, menyelamatkan masjid Biru di Rusia, dan sebagainya (Sumber). 

Tetapi, “pencarian” raja Salman pada anak cucu Soekarno bukan semata-mata karena kesan spesifik di atas. Membaca pesan-pesan sang raja selama di Indonesia, nampaknya penghargaannya pada presiden Soekarno disebabkan juga oleh kecerdasan dan jasanya meng-arstiteki negara ini dengan sebuah fondasi yang amat kokoh dan indah, yaitu Pancasila. Sebagai landasan filosofis Pancasila merupakan sintesis (saripati) nilai moral-spiritual dari kemajemukan etnik  dan pluralitas religius masyarakat Indonesia. Pancasila menjadi titik imbang dari semua perbedaan, keunikan, dan “tarikan-tarikan ideologis” yang melekat didalamnya. Itulah letak kekuatan ideologi Pancasila, dibanding ideologi lainnya yang lahir dalam tradisi bangsa yang cenderung homogen. Termasuk didalamnya tentu saja agama-agama. 

Maka, mengikuti pidato-pidato raja Salman selama di Indonesia seakan-akan mendengar nasehat dari seorang bapak bangsa kepada generasi-generasi pelanjut. Cara presiden Joko Widodo memperlakukan baginda juga seperti seorang anak kepada orang tua yang sangat dihormati. Raja banyak berbicara dan memuji kehidupan toleransi dan kebinekaan di Indonesia. Ketulusannya itu dibuktikan antara lain dengan sikap tegas mendukung pemerintah mengembangkan Islam moderat dan mengendalikan, bahkan “memerangi” Islam garis keras; semua bentuk radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.  

Apa yang ditunjukkan oleh raja Salman dan rombongannya selama di Indonesia menunjukkan kepada kita sebuah wajah Islam yang sangat inklusif, ramah, damai, juga menghadirkan kenyamanan dan ketenteraman. Berbeda 180% dengan yang didakwa-paksakan oleh Habieb Rizieq dan konco-konconya yaitu terkesan determinatif, diskriminatif dan cenderung menginvasi.

Berikut sejumlah perbedaan hakiki yang saya catat.

Pertama; Rizieq CS tidak mau bersalaman dengan  non Muslim yang disebutnya kafir. Bahkan di perayaan hari raya umat Islam, mereka tidak dibolehkan disalami oleh warga non Muslim, apalagi menyalami di perayaan hari raya agama non Islam?  Sementara, raja Salman bebas bahkan sangat akrab menyalami tokoh-tokoh non Muslim, misalnya tokoh-tokoh lintas agama.

Kedua; Rizieq cs mengharamkan menyalami perempuan, apalagi perempuan yang tidak mengenakan pakaian dan atribut agama seperti jilbab, kerudung, dan sejenisnya. Raja Salman malahan bersalaman dan tidak keberatan berselfie-selfian dengan Puan Maharani dan Megawati Soekarnoputri, putri dan cucu Soekarno. Dengan perempuan non Muslim pun raja Salman berjabat tangan akrab tanpa canggung, misalnya dengan Ketua PGI, ibu Pendeta  Dr.Henriette T.Hutabarat Lebang.

Ketiga; Rizieq dkk memperjuangkan penerapan Wisata Syariat, termasuk pernah menggaungkan penerapannya di Bali yang sempat mendapatkan respons penolakan dari warga Bali.  Raja Salman memilih menghabiskan waktu liburannya berlama-lama di Bali tanpa tuntutan spesifik. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline