Lihat ke Halaman Asli

Semuel S. Lusi

TERVERIFIKASI

Penulis

Konsolidasi Politik Jokowi untuk Apa dan Siapa?

Diperbarui: 11 November 2016   16:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Jokowi di Mako Marinir. Foto: Ray Jordan/detikcom

Menjelang dan pasca unjuk rasa kelompok Islam 4 November 2016 yang berakhir nyaris rusuh,Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan serangkaian safari politik. Dimulai dengan kunjungan ke Jenderal Prabowo Subianto, lalu mengundang organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah, juga MUI ke istana. Pasca unjuk rasa yang melibatkan ratusan ribu umat itu,  safari dilanjutkan dengan  pimpinan pondok pesantren, ke kantor PBNU, kantor PP.Muhammadiyah, pertemuan dengan tokoh-tokoh dan ormas Islam di istana, lalu menyambangi markas POLRI, TNI, dan KOPASUS (Komando Pasukan Khusus), dan sebagainya. Di markas Kopasus (10/11) arahan Presiden antara lain mengatakan, “ini adalah pasukan cadangan yang bisa saya gerakkan sebagai panglima tertinggi lewat Pangab, lewat Panglima TNI untuk keperluan khusus.” (Sumber

Apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi itu dikenal sebagai konsolidasi politik. Politik di sini dipahami dari perspektif filsafat politik Hannah Arendt, yaitu sebuah “ruang publik berkeadaban,” yang dengan tegas dibedakan dari “ruang privat” yang cirinya apolitis bermuatan ragam gaya permainan kuasa, relasi dominatif, serta kecenderungan homogenitas. Maka, politik adalah kondisi “pasca private” dimana semua ciri keprivatan dan partikularitas  ditanggalkan dan ditransformasi ke ruang politik sebagai taman keberagaman.  Bukan ditinggalkan, melainkan dikalibrasi untuk “membahasakan” kekhasan private di ruang bersama.

Presiden Joko Widodo berbincang bersama sejumlah pimpinan ormas Islam di Istana Merdeka, Jakarta, 9 November 2016. TEMPO/Subekti

Pertanyaan kritis yang harus diajukan tentu, adalah konsolidasi politik yang dilakukan Presiden Jokowi itu untuk apa? Juga, untuk siapa?

Frase yang populer di arena politik praktis Indonesia adalah “seni mengelola kemungkinan.” Dalam memainkan seni berjenis kelamin politik ini terdapat dinamika amat tinggi, yang kerap serba tak terduga. Mengapa dinamikanya tinggi? Bayangkanlah sebuah sungai besar (nasionalisme) dialiri ribuan sungai-sungai kecil serta banyak sumber mata air tertumpah di dalamnya. Kekuatan arus, riak-riak dan gelombang nasionalisme macam apa yang bisa dihasilkannya? 

Itulah seharusnya ciri arus dan kekuatan gelombang nasionalisme kita. Dengan metafora lain lagi, ruang publik yang disebut Indonesia itu merupakan taman keragaman bagi tumbuh kembangnya ribuan jenis tanaman, dengan ukuran dan  bentuk bervariasi tinggi, hamparan bunga berwarna warni dikerumuni laksa spesies penghisap sari yang mengeksploitasi tetapi juga penyerbuk.  Betapa kuat arus dan gelombang nasionalisme kita, betapa indah dan molek taman keragaman NKRI kita.

Tetapi,  tidak mudah mengelola dan merawat taman keragaman agar indah dan molek, tanpa ditumbuhi semak belukar (gulma), benalu, dan tanaman pengganggu lainnya. Juga, agar setiap tanaman itu tidak saling mengganggu, dan saling menghambat, melainkan masing-masing bertumbuh maksimal dan  memperlihatkan keunikan dan keindahannya. Tak gampang mengkanalisasi tumpahan sumber air berlimpah dan riak-riak arus agar benar-benar mengalir deras dan cepat di jalur nasionalisme kita serta bermuara ke samudera tujuan nasional atau  cita-cita kemerdekaan.  Kekeliruan mengelola dinamika tinggi ini berpotensi bencana sebagai air bah dan banjir bandang yang sewaku-waktu merubuhkan bangunan kebangsaan serta menghancur-leburkan pilar-pilarnya.

Konsolidasi politik semata-mata diletakkan dalam perspektif mengelola taman keragaman dan mengkanalisasi aliran deras di atas. Jadi, bukan untuk mengelola kekuasaan dalam rangka penaklukan, adu kuat, mendominasi, dan sejenisnya. Jauh dari tendensi apolitis macam itu, politik justru merawat kebersamaan dengan bahasa negara (publik).   

Kalau politik disebut sebagai seni mengelola kemungkinan, itu sesungguhnya  menjelaskan posisi pemimpin (Presiden) di antara dua kutub tegangan yang tarik menarik. Ia harus mampu mengelolanya sedemikian agar menciptakan keseimbangan.  Dua kutub itu adalah tarik-menarik antara kekuatan negara dan kekuataan massa (civil society). Bila tarikan kutub negara (atau pemerintah) terlalu kuat  maka pemerintahan yang ditampilkan pasti otoritarian. Tetapi sebaliknya, bila massa  yang kuat maka yang terjadi adalah anarkisme. Pemerintahan ideal bergerak lincah dan cerdas mengelola keseimbangan antara kekuatan negara dan kekuatan massa. Sebenarnya, itulah yang dimaksud dengan demokrasi dan ruang publik.

Awal 1970-an, di era Orde Baru (Orba) konsolidasi politik Presiden Soeharto digenjot habis. Panggung politik Orba dilatari “bangkai dan bau darah korban G30-S” membungkus Soeharto dengan semacam kharisma ketakutan massa. Fungsi panglima tertinggi dimainkan efektif sehingga ia sepenuhnya mengontrol-kendalikan TNI dan Polri. Partai-partai politik (parpol) dibonsai menjadi hanya 3 (tepatnya, dalam sebutan Soeharto hanya dua parpol dan Sekretariat Bersama Golongan Kekaryaan). Itu pun, dua yang disebut parpol itu seperti diikat dengan rantai kendali yang hanya bergerak menurut kemauan penguasa. 

 Meski satunya yang esensinya adalah  “parpol plus plus” bergerak bebas, tetapi remote control-nya digenggaman Dewan Pembina, yaitu Presiden.  Setelah peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) 1974, konsolidasi politik Soeharto makin gencar. Seruan back to kampus mengamputasi atau mengkanalisasi gerakan massa mahasiswa dan kaum intelektual sebagai kekuatan utama penggerak parlemen jalanan ke kandang. Gerak massa jadi beku.

Konsolidasi politik Orba terbilang sangat sukses tetapi bersifat apolitis. Ia semata-mata hanyalah pelebaran dari ruang private penguasa. Bahasa kekuasaan dan penaklukan sangat kental. Tentara, Kepolisian, Legislatif, Yudikatif, bahkan pengusaha semuanya didalam genggaman penguasa. Tidak ada yang berbicara atau bergerak diluar kehendak penguasa. Soeharto secara cemerlang memperkuat posisi negara. Tetapi di sisi lain mengamputasi sama sekali civil society. Penyeragaman kosa kata politik dikawal dan diawasi ketat. Sampai-sampai ada gurauan, “bila Soeharto masuk dalam sebuah ruang pertemuan dan terdengar seseorang batuk, akan diinvestigasi apakah batuknya itu politis atau memang murni gangguan kesehatan.” 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline