Lihat ke Halaman Asli

Semuel S. Lusi

TERVERIFIKASI

Penulis

Pelajaran dan Catatan Kritis Terkait Unjuk Rasa 411

Diperbarui: 6 November 2016   00:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KAWAL FATWA MUI: Massa FMCI Kaltim gelar aksi damai di kantor Gubernur Kaltim, Jumat (4/11). (SUmber foto: http://www.korankaltim.com/seribu-massa-fmci-serbu-kantor-gubernur/)

Unjuk rasa 411 (UR-411) telah berakhir sesuai harapan: relatif damai dan tidak anarkis. Meski di ujungnya terjadi insiden yang hampir menyulut kericuhan akibat kenekadan sejumlah demosntran menyerang polisi dan memaksa masuk ke istana, demonstrasi ini mencatatkan sejumlah hal penting yang patut dijadikan pembelajaran dan evaluasi kritis.

Pertama; unjuk rasa dari kelompok Islam dibawah koordinasi Imam Besar Front Pembel Islam (FPI) Habib Rizieq dengan didukung sejumlah politisi dan faksi Islam garis keras ini  bisa dicatat sebagai salah satu yang terbesar dalam sejarah aksi massa di Indonesia. Ini mungkin bukan hanya unjuk  rasa melainkan unjuk kekuatan. Dengan melibatkan sekitar 100-an ribu orang (belum ada perkiraan angka resmi) yang datang dari berbagai daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Makasar, Medan, dan sebagainya jumlah ini menjadi fenomenal. Meski tidak mencapai 500 ribu sebagaimana ditargetkan sebelumnya, jumlah yang sukses “memutihkan” ibukota Jakarta ini menorehkan sepenggal cerita dalam sejarah kehidupan bernegara.

Kedua; UR-411 mengangkat nama Habieb Riziek (HR) dari sebelumnya sebagai “pemain lokal” (yang gagal me-nasional karena ditolak di sejumlah daerah antara lain di Purwakarta Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan lainnuya) menjadi tokoh. Suksesnya unjuk kekuatan ini menaikkan pamor dan pangkat Panglima Tinggi FPI ini dari sekadar “pemain lokal” menjadi tokoh nasional yang tidak bisa lagi dipandang sebelah mata.

Kemampuannya mendatangkan massa dari berbagai daerah dengan jumlah yang massif memberi bukti yang tak terbantahkan. Bukan hanya itu, ia pun membuktikan kharisma dan kekuatan kepemimpinannya dengan mampu mengorganisir massa sedemikian besar dengan tetap menertibkan mereka hingga akhir. Setidaknya, apa yang sebelumnya dikhawatirkan sejumlah kalangan akan menimbulkan kerusuhan menjadi tidak terbukti.

Ketiga; UR-411 menyingkap sisi lain dari mantan presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang lewat berbagai komentar dan konverensi persnya sehari sebelum demonstrasi dianggap menimbulkan kontroversi. Bahkan, oleh sejumlah pengamat dipersepsikan beraroma provokasi.  Maka, di mata publik lewat peristiwa UR-411 ini pamor SBY turun dari sebelumnya sebagai tokoh berkharisma menjadi pemain lapangan.

Amien Rais, Fadli Zon, Fahri Hamzah dan tokoh politik lainnya yang ikut turun dan berpartisipasi aktif dengan sendirinya menempatkan diri  juga sebagai pemain lapangan atau pion yang berada dibawah permainan dan kharisma Habieb Rizieq.  Membayangkan seandainya aksi ini berakhir sebagai revolusi damai yang menempatkan Rizieq sebagai pemimpin negara Khalifah, tentu Amien Rais dkk mendapatkan posisi istimewa dalam pemerintahannya.

Keempat, aparat kepolisian dan TNI bekerja profesional dan menunjukkan kinerja luar biasa. Mereka mampu menggunakan pendekatan humanis yang tidak mengambil jarak melainkan membaur bersama demontsran, tetapi tetap tegas berdiri di atas kepentingan negara. Tidak mudah mengawal massa sedemikian banyak, dan memastikannya berjalan tertib dan bubar sesuai rencana.

Gerakan massa sedemikian sangat mudah menghasilkan chaos, apalagi sudah ada sinyalemen ditunggangi berbagai kepentingan baik yang jangka pendek maupun jangka panjang. Baik yang manifest (nampak dan terang-terangan) maupun yang laten (menjadi agenda tersembunyi). UR-411 juga membuktikan bahwa TNI dan Kepolisian sangat kompak dan dapat bersinergi untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan stabilitas. Sungguh patut dibanggakan!

Kelima; terjadinya pelanggaran menjelang akhir demonstrasi harus menjadi evaluasi kritis dan perhatian antispatif di masa depan. Adanya sejumlah ungkapan orasi yang bernuansa memancing anarki, seperti “turunkan Ahok, turunkan Jokowi, kuasai gedung MPR, revolusi damai” dan sejenisnya jelas menodai jargonnya yang diniatkan sebagai demonstrasi damai. Aroma revolusi dan upaya perebutan kekuasaan sedikit terendus, seperti juga pernah disinyalir oleh Mendagri Tjahyo Kumolo menjelang demonstrasi 4 November 2016 www.cnnindonesia.com.

Untuk itu, penanggungjawab unjuk rasa, koordinator lapangan, termasuk para tokoh dan politisi yang aktif berpartisipasi didalamnya perlu dimintai keterangan. Termasuk juga aparat kepolisian dan  tentara yang menangani demonstrasi. Perlu evaluasi bersama semua elemen yang terlibat, baik sebagai demonstran maupun petugas untuk mengidentifikasi “titik-titik kritis” yang terjadi selama dan sesudah demonstrasi. 

Evaluasi bersama juga diperlukan untuk penegasan kembali aturan-aturan demonstarsi sebagaimana yang diijinkan oleh undang-undang, serta kesepakatan-kesepakatan pelaksanaan demonstrasi yang tidak boleh diabaikan. Tujuannya agar pihak pendemo paham akibat dari pelanggaran bila terjadi, serta tugas dan tindakan standar polisi dan tentara seperti diperintahkan undang-undang. Dengan demikian, rencana unjuk rasa oleh pihak yang sama di masa depan perlu dipikirkan lebih hati-hati dan perlu langkah antisipatif agar tidak terulang lagi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline