Lihat ke Halaman Asli

Semuel S. Lusi

TERVERIFIKASI

Penulis

Tuan dan Nyonya DPR, Jangan Biarkan Negara Ini Dipimpin Para Penjahat!

Diperbarui: 1 September 2016   16:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarulzaman (kiri) berbincang dengan Ketua KPU Juri Ardiantoro (kedua kanan), Komisioner KPU Ida Budianti (ketiga kanan) dan Arief Budiman (kedua kiri) serta Dirjen Otda Kemendagri Soni Sumarsono (kanan) saat rapat dengar pendapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (26/8). Rapat tersebut membahas Peraturan KPU (PKPU)./© Akbar Nugroho Gumay /ANTARA FOTO

Judul tulisan ini terkesan kuat meragukan keseriusan DPR mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Ya, tuduhan itu diperlukan supaya ditelusuri dengan hati jernih dan pikiran bening.

Bagimana “premis konklutif” itu dibangun? Sebagai representasi Partai Politik (secara teoretik representasi rakyat), DPR adalah gambaran dari kinerja Partai Politik.  Data terakhir menunjukkan bahwa kepala daerah yang tersangkut kasus hukum berjumlah 360 dari 541 (Sumber). Dengan kata lain, kepala daerah di Indonesia yang bermasalah mencapai 66,5%. Data itu pun hanya terkait kepala daerah, belum wakilnya.  Jadi, bayangkan, sebagian besar kepala daerah hasil pilkada, hasil rekruit Parpol (sebagian kecil independen) terindikasi bahkan sebagian sudah terbukti bermasalah hukum! Secara ekstrim bisa dikatakan bahwa negara ini dipimpin oleh para pesakitan hukum, para penjahat. Dimana rasa malu kita? Negara yang beradab tinggi, dengan Pancasila, terutama sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai dasar?  

Bukankah fakta lapangan banyak berkelindan dengan data seperti di atas, seharusnya dijadikan “titik berangkat” oleh Parpol dan DPR untuk mendisain sebuah strategi utuh guna menghentikan menjalarnya virus kanker berbahaya ini? Sejak reformasi, jumlah kepala daerah tersangkut masalah hukum, terutama korupsi bukannya berkurang malahan terkesan terus meningkat. Langkah darurat seharusnya dilakukan, misalnya dengan memperketat pasal-pasal aturan terkait pencalonan kepala daerah.

Yang terjadi justru bertolak belakang! Melalui Rapat Dengar Pendapat DPR dengan KPU, Bawaslu dan Kemendagri akhirnya diputuskan perlunya diberi kesempatan bagi terpidana hukuman percobaan mencalonkan diri sebagai pimpinan publik melalui even konstentasi Pilkada (Kabupaten, Kota dan Provinsi). Alasan Komisi II DPR-RI adalah, “putusan hukuman percobaan belum berkekuatan hukum tetap” (Lihat Kompas 29/8/20 hal.2). Dengan logika canggih nan licik versi para legislator itu, KPU lalu diminta merevisi Peraturan KPU terutama yang berkaitan dengan Pencalonan.  

Sejumlah pakar hukum tata negara, antara lain Asep Warlan Yusuf (Pengajar Hukum Universitas Parahyangan) mengemukakan pendapat bahwa keputusan tersebut lebih bermuatan politik ketimbang menciptakan Pilkada berkualitas. Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK juga menekankan, seharusnya pilkada diikuti orang-orang yang rekam jejaknya bersih dari sisi hukum.  Komisioner KPU, Ida Budhiati telah menegaskan pihaknya tidak setuju dengan keputusan itu.

Pertanyaan kritisnya, dalam kaitannya dengan program nasional pemberantasan korupsi, “apakah keputusan itu merupakan langkah maju atau langkah mundur? Siapa yang diuntungkan oleh pasal terobosan brilian ala DPR tersebut?”

Terhadap pertanyaan pertama, saya tegas menjawabnya: LANGKAH MUNDUR!  Mengapa?  Sejauh ini sudah banyak langkah maju dalam upaya pemberantasan korupsi. Mulai dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK yang sukses menangkap basah sejumlah pejabat negara yang sedang melakukan korupsi, tuntutan hukuman maksimal bagi koruptor (meski belum sepenuhnya berjalan sesuai harapan), pencabutan hak politik untuk dipilih bagi terpidana, dan sebagainya.  Ini jelas langkah maju, katakanlah selangkah ke depan.

Namun, dengan membolehkan para (calon) terpidana mengikuti Pilkada, sudah jelas kemajuan di atas jadi tidak berarti. Bahkan terkesan bagaikan tarikan jauh ke belakang karena seseorang sudah berstatus tersangka, meski “hanya” menjalani hukuman percobaan,  tetap diperoblehkan maju di Pilkada. Apa yang terjadi, bila yang bersangkutan setelah terpilih di pilkada, lalu terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kejahatan melalui keputusan pengadilan?  Siapa yang harus bertanggungjawab? Bukankah telah terjadi kerugian negara (melalui biaya penyelenggaraan Pilkada), juga kerugian bagi masyarakat karena telah bersedia meluangkan waktu ke TPS untuk memberikan suaranya? Bukankah itu berarti masyarakt dan negara telah dibohongi atau ditipu oleh Prapol yang mencalonkan?

Contoh terbaru adalah bupati Rokan Hulu, Suparman yang setelah terpilih di pilkada tidak dapat dilantik karena terkait kasus suap pembahasan APBD 2014/2015.  (Sumber). Atau bupati Ogan Ilir, Ahmad Wasir Nofiadi yang ditangkap BNN karena mengkonsumsi narkoba. Masih banyak contoh kepala daerah yang terkait kasus hukum, dan informasinya mudah diakses lewat mbah google.  Atau kasus lainnya terkait pejabat publik, aparat hukum pula, yaitu Sekretaris MA, Nurhadi, yang sudah terindikasi kuat tersangkut kasus suap namun oleh MA tidak segera dipecat dengan alasan belum mendapatkan status berkekuatan hukum tetap. Harusnya, calon yang “baru taraf” terindikasi kuat pun, sudah tak pantas dipertahankan di jabatan publik, apalagi dicalonkan dalam pilkada. Kaca mata hukum (yang banyak dibolongi) sebaiknya diabaikan sementara. Sambil menunggu perbaikan perangkat hukumnya, kaca mata etis-moral harus lebih diperioritaskan. Di negara-negara yang sungguh-sungguh beradab, baru diisukan saja pejabat yang bersangkutan langsung mengundurkan diri. Punya rasa malu dan tahu diri.  Di negara kita kok terkesan dipertahankan, lebih-lebih lagi dicarikan terobosan hukum untuk meloloskan para penjahat. Bahkan yang sudah terbukti pun  kerap Partai Politik bekerja keras membela kader jahatnya itu.

Dari berbagai kasus yang menjerat para kepala daerah dan pejabat publik, seharusnya berbagai aturan yang terkait dengan pencalonan, perekruitan pejabat, dan sebagainya diperbaiki sedemikian sehingga mencegah kemungkinan terjadinya kasus yang sama.  Sudah jelas, “terobosan Komisi II DPR RI” di atas bertolak belakang dengan upaya preventif itu.  Malahan, terkesan membuka pintu lebar-lebar bagi “masuknya para penjahat” menjadi pejabat publik. 

Sebaiknya, kalau pasal itu diberlakukan, maka perlu ada pasal penyeimbang, yang mengatur perlunya pemberian sanksi keras kepada Parpol maupun calon bersangkutan, apabila kejahatannya terbukti dan diberi status yang berkekuatan hukum tetap. Artinya, Parpol yang “ngotot” mencalonkan kandidat yang sesungguhnya tersangkut masalah hukum, meski statusnya masih percobaan, harus mendapat sanksi apabila calonnya itu ternyata terbuktikan kejahatannya. Pun, bagi calon yang bersangkutan, baik terpilih maupun tidak di Pilkada, apabila setelah pemilihan ternyata mendapatkan keputusan hukum tetap melakukan kejahatan, maka ia juga diberi sanksi tertentu. Misalnya, keputusan pengadilan akan masa hukumannya diperberat, misalnya 5 tahun.  Jadi, bila pengadilan memutuskan 5 tahun penjara, maka hukumannya menjadi 10 tahun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline