Tulisan kompasianer Bambang Setyawan (Bamset) beberapa waktu lalu (Andai Indonesia Seperti Kota Salatiga), dan sudah beberapa kali, memotret berbagai angle keindahan kehidupan toleransi di kota sejuk Salatiga. Kota mungil di kaki gunung Merbabu ini, yang juga dibentengi secara kokoh oleh gunung lainnya yaitu Telomoyo dan gunung Ungaran, membuatnya selalu aman dari muntahan abu vulkanik Merapi saat meletus. Pun, terlindung aman, misalnya dari bencana angin badai dari arah mana pun. Providensi suasana aman dan sejuk dari alam ini seakan-akan membuat Salatiga memiliki berbagai syarat kelayakan bagi tumbuh suburnya benih-benih toleransi. Apa yang sering diekspose kompasioner Bamset juga dirasakan oleh saya, dan sejumlah teman “pendatang” lainnya yang kini sudah menjadi penduduk sah kota ini.
Terinspirasi dari tulisan-tulisan Bamset, saya ingin menggambarkannya dari sudut yang lebih mikro, yaitu keluarga. Kebetulan, beberapa tahun terakhir saya mulai tertarik pada topik ini (keluarga sebagai miniatur pembentukan budaya bangsa).
Keluarga yang damai dan toleran akan melahirkan masyarakat yang damai dan toleran. Dari keluargalah, sikap toleran dan damai disemai lalu bertumbuh subur hingga ke liang kubur. Dan menurut saya, inilah ciri khas masyarakat Nusantara.
Cobalah berkunjung ke lokasi pekuburan umum di Salatiga, misalnya Cungkup, Turen Kemiri, Kemiri Barat, Sidomulyo, Imam Bonjol, Ngebong, dan lainnya. Anda akan melihat bahwa kuburan dengan simbol Islam dan Kristen bercampur baur, berbaring berdampingan dengan akrab dan damai sentosa. Meski tetap harus diakui ada pula beberapa TPU yang memisahkan seperti umumnya di tempat lain.
Jadi, boleh dikatakan orang-orang Salatiga itu toleran dan damai mulai dari lahir, lalu menjalani kehidupan bersama hingga meninggal. Berbeda dengan tempat lain yang kerap hidup penuh permusuhan, dikubur pun tetap bermusuhan alias terpisah. Jadi, toleransi di Salatiga bukan karena didikte aturan atau semacam Perda (Peraturan Daerah), melainkan mekar berbinar dari sanubari penduduknya yang bersahaja apa adanya.
Saya cukup lama mengamati sebuah keluarga yang inspiratif. Yaitu keluarga mbah Mardi dan Siti Aminah. Kami sekeluarga dekat dengan keluarga ini karena Yani, salah seorang anak mereka membantu di rumah sejak anak kami, Faith Candlelight lahir tahun 2005. Kami perlakukan Yani sebagai layaknya anggota keluarga sendiri, demikian pula ia memperlakukan Faith.
Mbah Mardi penganut Islam taat, sedangkan istrinya Siti Aminah penganut Kristen taat (dalam artian rutin mengikuti kegiataan ke-gereja-an). Dari 9 anak, 3 diantaranya penganut Islam yang taat menunaikan ibadah solat, 1 penganut Katolik, dan 5 penganut Protestan. Salah satunya Yani, dan seorang kakak Yani, yaitu Tini yang bersuamikan orang Papua dan menetap di Biak.
Tini sebelumnya beragama Islam lalu menjadi Kristen ketika menikah. Sebaliknya, Lina anak perempuan lainnya yang kini menetap di Jogja sebelumnya beragama Kristen lalu menjadi Muslim setelah menikah. Salah seorang anak lelaki, Andri, sebelumnya penganut Kristen dan setelah menikah menjadi mualaf. Tony, yang kini beragama Katolik juga karena pernikahan. Jadi nampaknya, keputusan menganut agama tertentu sepenuhnya hak anak-anak tanpa intervensi orang tua. Tidak pernah ada gejolak atau ketegangan lantaran pilihan-pilihan jodoh maupun anutan religi. Anak-anak bebas memilih, bebas "pergi dan datang."
Beberapa yang sudah menikah ini pun masih tinggal di rumah orangtua mereka, yaitu mbah Mardi dan mbah Amin. Lainnya, meski tinggal di mertua (keluarga istri atau suami) namun sering berkumpul bersama di rumah mbah Mardi setidaknya setiap akhir pekan. Jadi bayangkan, betapa ramai namun damai dan tolerannya keluarga besar itu.
Faith, anak kami pun waktu masih usia 5 tahunan, selalu merasa bahwa akhir pekan merupakan “jatahnya dia” untuk ikut berkumpul di rumah mbah Mardi. Setiap Jumat sepulang sekolah dia pasti mengingatkan kami bahwa besoknya dia berlibur ke rumah mbah Mardi. Maka, suatu saat saya dan istri agak terkejut ketika pulang dari rumah mbah Mardi, Faith mengambil syal ibunya, membentangkanya di lantai, lalu membuat gerakan solat. Setelah dijelaskan perlahan-lahan dengan bahasa yang bisa dipahaminya, akhirnya Faith pun paham mengapa dia tidak perlu melakukannya lagi. Inilah pelajaran tolerasni yang didapatkan Faith, maupun kami, dari rumah mbah Mardi. Faith tidak perlu dilarang ke rumah mbah Mardi (karena takut terpengaruh), atau melarang anggota keluarga mbah Mardi melakukan ibadah solat bila Faith berada di sana. Faith cukup diberi pemahaman. Demikianlah rupanya anak-anak dan keluarga mbah Mardi juga saling memahami satu terhadap lainnya meski berbeda anutan religi.
Dalam sebuah kesempatan di bulan puasa, saya datang di sore hari menjemput Faith, bertemu mbah Mardi sedang ngopi. Saya tanya, “kok gak puasa mbah?” Mbah Mardi mengembangkan senyum khasnya, lalu mengatakan, “mengikuti puasa dan ajaran agama itu kan tujuannya supaya bekin kita jadi baik. Lha, kalau sudah baik, kan tidak harus rutin juga tidak apa-apa.” Jawaban polos dan spontan di luar dugaan ini membuat saya sesaat terpana, merasa seakan sedang berada di hadapan seorang guru besar.