Kisah klasik The Silent Spring (1962) karya Rachel Carson mungkin bisa jadi titik tolak untuk memahami betapa kerusakan alam telah mencapai titik kritis sedemikian sehingga berpotensi pada punahnya habitat dan kehidupan di atas planet ini. Lihat saja, beberapa kali sudah terjadi gejala ikan terapung mati dalam skala besar di Ancol Jakarta, di Sionggotan Sulut, di Kalimantan, dan paling terakhir April 2016 Amamapare Timika. Punahnya banyak spesies, hilang dengan cepatnya keragaman hayati global maupun Indonesia, dan kerusakan hutan yang tak terkendali merupakan sejumlah kecil contoh betapa planet ini sedang terancam menuju kepunahan. Bila saja nyonya Carson masih hidup, mungkin dia dengan sedih bercampur marah harus membuat edisi mutakhir berjudul: The Silent (Lonely) Planet?!
Terkesan didramatisasi? Tidak juga! Krisis lingkungan dan dampaknya telah menjadi isu lokal maupun global, dari kota-kota metropolitan di Eropa dan Amerika hingga kampung-kampung terisolir di Papua dan Kalimantan, bahkan juga menghantam benua Antartika yang “belum berpenghuni.” Naiknya permukaan laut yang berpotensi mengakibatkan tenggelamnya banyak pulau, terutama di wilayah Pasifik, juga Indonesia, bencana kekeringan yang meluas, gagal panen, wabah virus dan penyakit seperti HIV Aids, Ebola, polusi dan limbah pestisida, dan sebagainya. Beberapa tahun lalu, kalau bicara banjir angan kita langsung terbang ke Jakarta. Kini, banjir tidak saja menjadi wabah musim hujan di ibukota negara, melainkan juga kota-kota kecil dan pinggiran, hingga berbagai pedalaman di hampir semua pelosok negeri.
Bila daftar bentuk ancaman kehidupan di atas diteruskan, maka kita pasti mendapatkan sebuah daftar yang sangat panjang. Lebih dari itu, bila kita menyadari dampak dari semua ancaman itu, betapa sangat menyeramkannya! Bagaimana memahami berbagai masalah ini secara filosofis (hakiki)? Apa akar masalah yang paling esensial sebagai penyebab rusaknya habitat yang berakibat pada ancaman kepunahan kehidupan di atas planet bumi ini? Adakah jalan keluar bagi kita untuk menyelamatkan habitat kehidupan? Bagaimana gambaran masyarakat masa depan yang ideal, yaitu “masyarakat berkelanjutan”?
Pertanyaan-pertanyaan di atas dijawab dengan kritis dalam buku karya DR.A.Sonny Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan Bersamja Fritjof Capra, (2014). Sebagai dosen dan pakar etika lingkungan, penyandang doktor bidang filsafat, juga penulis produktif dalam topik-topik ekologi (perspektif etika dan filsafat), Dr.A.Sonny Keraf memang kompeten memberikan kajian kritis atas masalah-masalah tersebut. Terutama, dengan kerangka kajian filsafat, khususnya paradigma holisme-ekologis dari Fritjof Capra.
Sebagai layaknya buku ber-genre ilmiah, buku ini terbahas dengan sistematika yang apik dan basis teori yang kokoh. Diawali dari bagian Pengantar yang membahas situsi krisis kehidupan (lingkungan) yang disebabkan oleh kesalahan paradigmatik, yaitu dominasi paradigma Cartesian dan Newtonian. Tetapi juga menegaskan prasyarat mengatasi masalah yaitu perubahan paradigm (paradigm shift) dengan mengacu kerangka pikir Thomas Kuhn.
Bab 1 meletakkan dasar pemahaman atas konsep-konsep pokok yang dibahas, yaitu pengertian filsafat, lingkungan hidup, filsafat lingkungan hidup dan prinsip perubahan paradigma dari Thomas Kuhn. Dilanjutkan dengan Bab 2 membahas akar masalah terkait “krisis kehidupan dan penyebabnya,” yaitu paradigma Mesin Raksasa. Lalu, permasalahan dijawab di Bab 3 lewat pembahasan Paradigma Ekologis atau holistik sebagai “paradigma penyelamat kehidupan. ”Bagian ini sebenarnya sebagai titik klimaks, karena menjadi tujuan utama atau roh dari buku ini. Namun, pembahasan berlanjut dengan Bab 4 tentang “makna kehidupan dalam perbandingan kedua paradigma,” tetapi penekanan lebih pada paradigma ekologis yang diusungnya. Dilanjutkan dengan penerapan dari paradigma holisitik, yaitu kampanye melek teknologi menuju terciptanya Masyarakat Berkelanjutan di Bab 5.
Bioregionalisme sebagai kondisi menyatunya ekonomi dan ekologi yang secara diamteris berbenturan dibahas di Bab 6. Pembahasan berakhir di Bab 7 yang mengkaji praktek Rekayasa Kehidupan (genetika, kloning, dan sejenisnya) sebagai tindakan “melawan hukum alam” dan bertentangan dengan paradigma ekologis, serta dilema etik moral yang diakibatkannya.
Meski banyak teori digunakan sebagai pembanding atau pendukung tesis utama buku, pemikiran Capra merupakan urat nadi atau roh terlihat amat kuat. Saya kira ini menjadi kekuatan sekaligus kelemahannya. Banyaknya teori filsafat, sains, lingkungan, memuat berbagai proposisi maupun hipotesis-hipotesis yang akan merangsang minat ilmiah untuk melakukan pengujian lanjutan. Tetapi akhirya juga terkesan kita “hanya” membaca gagasan-gagasan Capra melalui penulis. Alangkah baiknya kalau ada bagian-bagian yang dilengkapi penulis sehingga dapat membuat “filsafat Capra” dikoherensikan dengan kondisi faktual Indonesia. Betul, sebagai sebuah refleksi filosofis tidak harus memijaki data, namun tidak berarti bekerja di ruang hampa.
Bagi peminat masalah lingkungan hidup, ekologi, biologi lingkungan, filsafat (dan etika) lingkungan, teologi lingkungan, system thinking, livelihood,dan berbagai hal terkait lingkungan atau masa depan kehidupan karya ini patut disambut riang. Juga bagi para aktivis lingkungan akan menemukan pijakan kerangka pikir (paradigmatic /filosofis/ teroretik) dan kerangka kerja yang sesuai untuk mendukung disain strategi aplikasi, kampanye kesadaran lingkungan, maupun program edukasi masyarakat. Tetapi bagi yang sudah lama berkecimpung secara teoretis nampaknya tidak perlu berharap banyak menemukan ide-ide baru yang original. Apalagi bagi penikmat gagasan-gagasan “sains-mistik” Fritjof Capra dan telah mengoleksi (membaca) semua buku Capra yang dirujuk, kesan agak membosankan tidak terhindarkan.
Sejumlah kesulitan terbayang dengan menyadari, bahwa roh pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lewat kurikulum-kurikulum pendidikan masih sangat mekanistik, sebagai ciri budaya modern yang diusung revolusi pendidikan, mengingat asal muasalnya dari Barat. Di dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, mata kuliah yang terkait “reformasi paradigma ekologis” ini, kalaupun sudah terakomodir, masih diletakkan di “pinggiran kurikulum” sehingga kurang diminati. Beberapa diantaranya Filsafat Timur, System Thinking, Etika Lingkungan, Filsafat Lingkungan, Bio/ekoteologi, dan sejenisnya. Kenyataan ini menyebabkan perlunya menurunkan level perjuangan dari ketinggian “refleksi filosofis” ke “gerakan-gerakan praktis” di akar rumput, dari kajian ontologi ke epistemilogi dan aksiologi! Sambil memikirkan sebuah disain sistem pendidikan yang memiliki “semangat ekologis” yang terintegrasi, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Tentu saja, dengan mengandaikan adanya komitmen kuat dan political will dari pemerintah.
Mengetahui bahwa penulis adalah seorang akademisi senior, sekaligus Menteri Lingkungan Hidup di era pemerintahan Presiden Gus Dur, saya sebenarnya berharap agak lebih dari buku ini. Sederhananya, bila Anda bertanya, “bagaimana dengan Indonesia?”, maka Anda harus siap untuk kecewa. Saya pun demikian! Bukan karena tidak terbahas, melainkan amat minimalis.