[caption caption="Kredit Foto : Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri." | joss.today][/caption]
Akhirnya Ahok dan Teman Ahok (TA) telah membuat keputusan berani. Bahkan nekad! Dan, sikap anak-anak muda yang nekad ini bisa jadi benar diasosiasikan oleh Ahok sebagai tindakan darurat dan memaksa dari para pemuda yang “berani” menculik Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok 16 Agustus 1945, untuk “memaksa” memproklamasikan Kemerdekaan RI pada kesekoan harinya, dan tidak menunggu “hadiah dari Jepang.”
Asosiasi ini tepat. Tidak mengada-ada. Sebab, bila keputusan tidak diambil, padahal misalnya PDIP (yang sebelumnya disinyalir telah memberi lampu hijau akan mengusung Ahok) ternyata di saat deadline mengusung cagub lain, maka hilanglah sama sekali peluang Ahok dicalonkan sebagai Gubernur. Ahok dan TA mesti bersikap dan tidak boleh menunggu “hadiah” dari PDIP mapun Parpol lain. Tentu, itu juga tidak berarti pintu bagi dukungan Parpol telah tertutup sama sekali.
[caption caption="Suasana di Posko Relawan Teman Ahok (Irwandi Arsyad - VIVA.co.id)"]
[/caption]
Sikap berani bin nekad ini membuat banyak orang-orang penting di negeri ini terhentak. Salah satunya adalah Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarno Putri. Begitu Ahok-Heru resmi maju lewat jalur Independen, Megawati menggelar rapat dadakan dengan PDIP DKI yang antara lain dihadiri Sekretaris DPD PDIP DKI Prasetio Edi Marsudi dan Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat, yang juga Wagub DKI.
Ditanyai wartawan setelah rapat, Prasetio Edy menjelaskan, "Jadi kita membahas banyak, salah satunya deparpolisasi, itu yang harus kita sikapi. Kalau independen menang, apa ada nanti fraksi independen?" kata Prasetyo di Balai Kota Jakarta, Selasa (8/3/2016). Megapolitan.kompas.com selanjutnya melaporkan, selain konsolidasi PDIP mempersoalkan munculnya calon independen, yang menurut Prasetio, pengajuan calon kepala daerah dari jalur independen adalah bentuk deparpolisasi. Ia menunjuk indikatornya yaitu adanya upaya untuk meniadakan peran partai politik dalam pemilihan kepala daerah. Oleh http://joss.today/ dilaporkan bahwa Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri mengintruksikan kepada kadernya untuk melawan bentuk deparpolisasi, jelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2017. Perintah itu disampaikan Megawati saat menggelar pertemuan dengan elite PDIP di kediamannya, Senin (7/3/2016) malam.
Jadi, seolah jalur independen dituduh sebagai deparpolisasi, yang didefinisikan sebagai “upaya menghilangkan peran Parpol dalam pilkada atau sistem demokrasi Indonesia.” Pertanyaannya, siapa yang memiliki kekuatan sedemikian besar sehingga bisa menghilangkan peran Parpol, baik dalam pilkada maupun sistem demokrasi? Apakah Teman Ahok? Atau, Ahok sendiri? Bahkan perang dunia pun tidak akan mampu menghilangkan peran Parpol dalam sistem demokrasi sebuah negara. Hanyalah seorang pimpinan tertinggi negara yang tiran dan otoriter yang mampu melakukannya.
Apa yang dibayangkan sebagai deparpolisasi sesungguhnya adalah delegitimisi parpol. Sebuah gejala yang menggambarkan lunturnya kepercayaan publik terhadap Partai Politik. Mengapa terjadi delegitimasi? Tidak ada kata lain kecuali bahwa dalam pandangan publik, Parpol tidak dapat diandalkan lagi melakukan fungsi dan perannya. Apa fungsi dan peran Parpol?
Menurut Undang-undang Nomor.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik (pasal 11) disebutkan fungsi Partai Politik adalah sebagai sarana :
- Pendidikan Politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga Negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
- Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
- Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan Negara;
- Partisipasi politik warga Negara Indonesia ; dan
- Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
Sedangkan Tujuan (Khusus) Partai Politik dirumuskan sbb:
- Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan;
- Memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
- Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pertanyaan selanjutnya, apakah Partai-partai Politik telah melaksanakan fungsi dan perannya sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang? Bukankah delegitimasi tidak lain sebagai bukti kuat tidak berfungsi dan tidak berperannya Parpol sebagaimana diidealkan itu?