Lihat ke Halaman Asli

Semuel S. Lusi

TERVERIFIKASI

Penulis

Akhirnya Presiden Joko Widodo Lolos dari Bola Panas Revisi UU KPK, Lalu?

Diperbarui: 26 Februari 2016   18:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Presiden Jokowi dan Ketua DPR RI Ade Komarudin saat menyampaikan keputusan soal revisi UU KPK di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin 22/2/2016. (Fabian Januarius Kuwado/nasional.kompas.com)"][/caption]

 

Publik, terutama mereka yang benar-benar konsern terhadap upaya pemberantasan korupsi di negeri ini, akhirnya bisa bernapas lega. Setelah beberapa hari belakangan didera kekhawatiran dan ketidakpastian, akhirnya  apa yang dinanti-nantikan masyarakat terjawab sudah. Setelah bertemu pimpinan DPR 22 Faberuari 2016, Persiden Joko Widodo memutuskan MENUNDA pembahasan draf revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, atau  (UU KPK)

Tidak sulit memprediksi sikap Presiden Joko Widodo terkait usul Revisi UU KPK. Dalam tulisan saya di Kompasiana 20 Februari 2016 http://www.kompasiana.com/semuellusi/berjudi-dengan-kebenaran-mayoritas-dpr-terpaksa-mengalah-di-uu-revisi-kpk-presiden-tanpa-beban-akan-memenangkan-harapan-publik_56c74315a2afbd900890f299), saya sudah memperkirakan Presiden akan menolak, atau minimal menunda usulan revisi tersebut.  Dan, kini Presdien telah memutuskan menunda pembahasannya. Sebuah sikap bijak!

Mengapa bijak? Pertama, karena dengan demikian, terbukti bahwa Presiden benar-benar mendengar aspirasi masyarakat. Jalan pikir presiden sejalan dengan nalar publik, yaitu tidak mau memperlemah KPK. Pada sisi lain, Presden juga memikirkan bahwa terobosan untuk penguatan KPK masih bisa dilakukan lewat Revisi UU. UU KPK yang ada saat ini sudah cukup kuat, namun masih bisa diperkuat lagi dengan menambah pasal-pasal baru, menyempurnakan pasal-pasal yang sudah ada agar lebih memperkuat, atau menghilangkan pasal-pasal yang melemahkan.

Dengan alasan itu, Presiden juga memahami jalan pikir DPR. Hanya saja, draf revisi seperti yang diusulkan DPR saat ini tidak memenuhi harapan untuk memperkuat KPK.  Maka, tidaklah bijak untuk ditolak, sebab revisi memang dibutuhkan guna lebih memperkuat KPK. Dalam pengertian, dengan ditunda membuka kesempatan agar draf usulan diperbaiki dan disempurnakan agar sesuai harapan publik.

Apa yang tadinya dikhawatirkan akan menjebak Presiden akhirnya terbukti bisa terlewati. Bila menolak draf usulan dari DPR, Presiden akan berhadapan, tidak saja dengan lembaga legislatif yang menjadi mitranya dalam pembuatan UU, tetapi juga dengan partai pendukung pemerintah. Lebih-lebih lagi berhadapan dengan PDIP, yang bisa menuduhnya melawan keputusan partai.  Tetapi, bila Presiden menerima  usulan draf revisi, Presiden akan berhadapan dengan tekanan publik yang jelas-jelas menuntut penolakan draf usulan karena terang benderang melemahkan KPK itu .

Kini, pembahasan UU Revisi KPK sudah ditunda oleh Presiden. Pertanyaannya, lalu apa? Menurut saya, saatnya masyarakat, terutama praktisi hukum dan aktivis anti korupsi memberi masukan ke DPR maupun Presiden berkaitan dengan poin-poin yang perlu diusulkan dalam Draf UU Revisi KPK.  Butir atau pasal apa dari UU KPK tersebut yang perlu dihilangkan, disempurnakan, bahkan ditambahkan. Langkah ini penting, supaya jangan biarkan penundaan sebagai taktik ulur waktu semata-mata, sambil menunggu rakyat lengah lalu diloloskan. Rakyat harus tetap aktif memberi masukan dan mengawal, memastikan usul-usul penguatan KPK diakomodir dalam draf revisi. 

Berikut, sejumlah poin yang menurut saya akan memperkuat KPK.

Pertama; penyidik KPK diberi kekebalan hukum terbatas, khusus terkait dengan pidana yang bukan terkategori sebagai “extra ordinary crime” (EOC).  Poin ini diperlukan supaya mencegah adanya hambatan-hambatan yang terkesan dicari-cari untuk menghalangi bahkan memperlemah kerja KPK. Kasus Abraham Samad (yang dijerat kasus pemalsuan dokumen dan paspor), Bambang Widjojanto (dijerat dengan kasus saksi palsu), dan Novel Basewedan (dijerat kasus penganiyaan pencuri sarang walet) merupakan bukti kuat perlunya poin ini.

Para komisioner dan penyidik KPK telah diseleksi dengan sangat ketat, karena itu harus diandaikan bahwa mereka benar-benar orang pilihan. Kecuali, apabila  kelak ternyata mereka pernah melakukan kejahatan EOC, seperti korupsi, narkoba atau terorisme di masa lalu, maka mereka harus diberhentikan dan diproses. Tetapi, bila “dosa masa lalunya” tidak tergolong EOC maka diberi kekebalan hukum, sampai batas waktu masa tugasnya di KPK berakhir, barulah diperoses.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline