Nggak pernah selera makan makanan terbungkus plastik yang seharusnya dibungkus daun. Makanan yang seharusnya dibungkus daun tapi malah dibungkus plastik tentu beda rasanya. Dedaunan pun walau tidak bisa dimakan, seperti daun pisang atau bambu, tetap bisa memberikan rasa. Lontong misalnya. Rasa lontong yang dimasak dengan daun pisang tentu lebih enak daripada lontong yang dimasak dalam plastik.
Nggak terbayang deh beli bakcang yang terbungkus plastik. Jangankan bakcang yang dibungkus plastik. Bakcang yang dibungkus daun pisang pun aku ogah beli. Bakcang yang sejati dibungkus daun bambu. Kalau bakcang berbungkus daun pisang apa ya namanya?
Balik ke soal plastik. Di zaman serba instan ini, pakai plastik sebagai ganti daun menandakan kemalasan. Apa sulitnya beli daun pisang? Di swalayan atau di pasar tradisional pun mudah ditemukan.
Pagi ini, tergiur melihat lemper yang dijual seorang ibu. Lempernya dibungkus daun pisang. Agak mencurigakan sih: daun pisang itu tampak segar, masih pula dia dilapisi plastik. Beli dua. Setelah dibuka, barulah ketahuan belangnya: di balik daun pisang itu, ketan dan daging ayam dibungkus plastik! Ampun deh! Plastiknya keras dan ketahuan: ketan dan ayamnya dibentuk, ketan dibulatkan, dibelah, terus ayam disempilkan di situ. Nggak lagi-lagi deh. Cukup sekali membeli di situ. Aku punya respek yang besar untuk penjual lemper yang dimasak dengan daun pisang. Bukan plastik.
Besok kita memperingati Hari Bumi, semoga kita makin bijak dan hemat memanfaatkan plastik (saya tidak antiplastik) dan makin sayang bumi! Gaya hidup kita, bagaimanapun, akan berpengaruh pada bumi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H