Lihat ke Halaman Asli

Suatu Ketika Selepas Senja

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dari atas bukit ini, langit tampak menyajikan lukisan yang begitu mempesona. Gumpala-gupalan awan sewarna emas bergelantungan seolah membentuk dimensi asing. Sebuah dimensi khayalan yang begitu menakjubkan. Ruang-ruang kosong diantara gumpalan-gumlan awan itu terisi oleh garis-garis cahaya yang tercipta dari cahaya matahari. Sementara angin yang bertiup pelan membuat awan-awan yang tadinya diam serentak bergerak perlahan. Dimensi asing kembali tercipta dan berbeda dari dimensi yang sebelumnnya. Garis-garis cahaya tampak dominan mengisi ruang-ruang kosong. Cahaya matahari yang tadinya kekuning-kuningan perlahan berubah kemerahan. Pemandangan semakin menakjubkan. Khayalanku semakin terbang.

Diatas bukit ini aku tak duduk sendirian menikmati senja. Seorang wanitaberwajah mempesona duduk di sampingku. Namun sejak setengah jam yang lalu, kata-kata sudah absen diantara kita. Hanya suara ludah tertelan serta batuk-batuk kecil yang keluar dari kita. Bagi kita saat ini, menjerat senja dengan diam memang lebih baik daripada harus membenani otak untuk mencari jalan keluar dari persoalan cinta yang melilit kita.

Sementara itu, langit semakin indah merona. Dimensi-dimensi asing silih berganti, menciptakan khayalan yang semakin jauh dan tinggi. Aku terbang dengan khayalanku yang indah tak terperi, mungkin demikian juga yang dirasakan wanita disampingku. Menari dalam khayalan adalah hal termudah dari pada sekedar membalik telapak tangan. Bukankah demikian? Jujur aku suka berkhayal. Disaat aku terbang bersama khayalku, tiba-tiba rombongan burung yang tak kuketahui jenisnya memangkas udara. Akibat ulah mereka, langit seolah baru saja ditumpahi tinta hitam. Seketika itu khayalanku buyar, terselesaikan. Perhatianku langsung tertuju pada rombongan burung itu. Aku bisa melihat mereka menukik tajam menuju rimbunan pohon di lereng dekat sungai.

Wanita di sampingku menyandarkan kepalanya saat rombongan burung itu sudah tak tampak oleh mataku. Kusentuh kepalanya yang berambut gelombang. Kuselonjorkan kakiku kedepan lalu kuarahkan kepalanya di pangkuanku.

“Istiralah,” ucapku pelan dan ia balas dengan anggukan. Wanita dipangkuanku menutup matanya. Aku terus membelai rambutnya dengan tangan kiriku. Ia terlihat sangat nyaman dengan keadaan ini. Kulanjutkan belaian lembutku seraya memandangi wajahnya yang polos. Pelan kuusapkan tangan kananku dipipi kirinya, kulihat bibirnya tersenyum, ada dua lesungan kecil berada segaris dengan bibirnya yang tipis.

Kularikan pandanganku ke kanan saat kudengar seorang anak kecil menangis. Dikejauhan sana, terlihat seorang wanita paruh baya dengan menggunakan kemben berjalan tergopoh-gopoh, tangan kanan nyamen jewer telinga anak laki-lakinya. Aku menduga anak itu pasti ingin memanjat pohon asem yang tumbuh dipinggir kali, namun belum sampai ia memanjat, ibunya datang dan segera mengandeng telinganya yang tak mau mendengarkan nasehat orang tua. Aku tersenyum kecil melihat tingkah bocah itu, seketika aku terlempar pada masa dimana aku juga berada diposisi anak itu.

Aku sudah dua meter diatas pohon asem yang umurnya entah berapa tahun itu, namun tiba-tiba aku mendengar suara ibu berteriak memanggil namaku. Sontak aku kaget. Aku yang gugup tanpa kontrol langsung melepaskan peganganku pada pohon. Akibatnya, aku jatuh ke tanah. Bokongku mendarat tanpa persiapan. Teman-temanku berteriak kaget dan langsung mengerumuniku. Aku meringis kesakitan dengan wajah memerah. Belum selesai rasa sakit dibokongku, tiba-tiba ada jari-jari kasar menyentuh telinga kananku dan menjepitnya keras-keras. Kulirik pemilik tangan yang berani menjewerku. Sudah kuduga, tangan kasar itu pasti milik ibu. Aku meringis menahan sakit serta malu dilihat teman-teman sebayaku.

Tanpa menunggu persetujuanku, ibu langsung menarik telingaku. Sontak aku berdiri dan meringis kesakitan. Aku melihat mata ibu manatapku dengan amarah, nyaliku menciut melihat amarah ibu. Lagi-lagi tanpa persetujan dariku, ibu kembali manarik telingaku dengan kejam. Sementara kupingku terasa panas karena jepitan jari-jari ibu, bokongku terasa semakin ngilu. Aku terus meringis menahan sakit dan berjalan terseok-seok mengikuti langkah ibu. Diam-diam dalam hatiku tumbuh perasaan dongkol pada wanita yang sudah menghancurkan reputasiku itu. Aku berniat membalasnya suatu saat nanti. Pasti, pasti akan kubalas!

Sesampainya dirumah aku tak sudi bicara dengan wanita itu. Aku diam saja saat ia menawarku singkong rebus. Ia terus menyodorkan singkong itu padaku, aku meledak marah dan kulempar singkong itu ke tanah. Wanita itu menatapku dengan mata berkaca, aku segera lari menuju kamarku yang tak berdaun pintu. Kusembunyikan diriku dalam dekapan sarung satu-satunya yang kumiliki. Aku dongkol, marah bertumpuk dendam.

“Kenapa anakmu itu?” kudengar suara bapak bertanya.

“Aku tidak rela jika Kliwon seperti Supat,” jawab ibuku dengan suara yang kudengar berat serta diringi isakan. Supat? Ya seorang pemuda yang meninggal karena jatuh dari pohon asem di sendang. Kepalanya pecah dan tulang-tulangnya patah. Darah serta otaknya bercecer kemana-mana. Aku melonjak seketika. Aku berlari menuju ruang tengah dan segera kucium kaki ibuku. Aku meminta maaf dengan linangan air mata. Ibu mengangkatku dan segera memeluk erat tubuhku. Dari wanita yang kupanggil ibu kudapatkan cinta dan ketulusan!

Kuhirup dalam-dalam aroma kampung yang sangat kucintai ini. Kupejamkamkan matakuseraya kugetarkan bibirku perlahan. “Terima kasih Ibu!”

Matahari sudah tenggelam saat kusandarkan punggungku pada batu di belakangku. Rupanya malam benar-benar mengupas sisa-sisa cahaya yang tadinya bertaburan. Kualihkan pandanganku pada pohon-pohon jati disisi sebelah kiriku. Angin menyisir lembut pada kulitku. Terasa dingin. Segera kutarik cardigan merah muda yang ada di samping kiriku dan kuselimutkan pada wanita dipangkuanku. Saat kuselimutkan cardigan itu aku kembali teringat pada seorang wanita.

Wanita itu adalah istri kedua kakekku sepeninggal nenekku. Kakekku yang sudah berumur hampir tujuh puluh tahun mempersunting wanita yang umurnya lima tahun lebih muda dari ibuku. Memang sebelumnya wanita itu pernah bersuami tapi suaminya pergi bersama wanita lain. Menurut berita yang kudengar suaminya pergi lantaran ia tak dapat memberi keturunan setelah hampir dua puluh tahun pernikahan mereka. Disaat ia jatuh, kakekku datang bak pahlawan. Beliau membawa senyuman yang siap untuk dibagi. Wanita itu menerimanya dan ia-pun jatuh dipelukan kakekku.

Setengah tahun setelah janji sehidup semati diucapkan di depan seluruh penduduk dan sesepuh kampung, kakekku mendapat musibah. Tubuhnya yang sudah dipenuhi kerutan tertimpa batu. Saat itu beliau sedang menambang batu yang sudah menjadi pekerjaannya selama bertahun-tahun. Beruntung kakekku segera dilarikan ke puskesmas oleh tetanggaku yang saat kejadian berada di tempat penambangan. Setelah berbulan-bulan dirawat di puskesmas kecamatan, akhirnya kakekku bisa dibawa pulang. Tapi meskipun sudah dinyatakan sembuh oleh dokter, kakekku tetap tidak bisa bekerja seperti biasa. Bagaimana mungkin ia akan pergi menambang batu kalau kaki beliau saja tidak bisa digerakkan? Dan disinilah kehadiran nenek tiriku sangat berarti bagi kakek.

Dengan setia wanita itu merawat kakekku yang sudah tak bisa menunaikan kewajibannya sebagai suami, baik itu secara materi atau-pun rohani. Kakekku lumpuh. Tubuh beliau mati separo. Hidup kakekku sekarang ditopang oleh kursi roda sumbangan dari Pak Kades.

“Setiap pagi dan sore Warti memasak air hangat untuk membasuh tubuh kakek, lalu dengan sabar ia menyiapkan makan dan menyuapi kakek. Ia juga pergi ke sawah dan mencari rumput untuk sapi-sapi. Ia sungguh wanita kuat dan sabar,” cerita kakekku dengan mata berkaca-kaca dan suara serakknya.

“Tak cuma itu, setiap kakek ingin buang air Warti selalu memapah kakek menuju kakus. Ia juga membuatkan kursi khusus untuk kakek. Ia melubangi kursi kayu itu supaya kakekmu yang lumpuh ini bisa membuang hajatnya sambil duduk. Ia tak pernah sedikitpun mengeluh atau menangis. Dia wanita tegar dan penuh pengertian.”

“Kakek memang orang yang sangat beruntung,” kataku seraya tersenyum tipis dan memijit-mijit tangan beliau.

“Aku sering melihat senyum Warti lewat permukaan kopi dicangkirku, senyum itu membuatku hangat dan bersemangat selalu,” sambung kakekku lalu terkekeh.

Dari ucapan Kakek, aku yang waktu itu masih berumur enam belas tahun bisa mengyimpulkan. Bahwa, dari wanita yang kupanggil nenek itu, kakekku mendapat kasih sayang serta kehangatan!

Bintang bertabur menyulam langit. Bulan yang hanya segaris menyumbang sedikit saja. Kupejamkan mataku. Otakku terus berputar, entah apa yang kupikirkan sekarang, aku juga sedang memikirkannya. Entahlah. Kutarik nafas panjang mengikuti irama angin yang berhembus dari timur. Pelan, sejuk dan mendamaikan. Kali ini memoriku kembali merajut sketsa wajah seorang wanita yang penuh wibawa dan anggun. Ia punya senyum yang misterius. Serta mata tajam menikam darikaca tebal yangsudah menemaninya bertahun-tahun.

Umurku sembilan tahun kala itu. Aku memakai celana pendek warna hitam serta kaos biru tajam. Aku bersama dua temanku bergelantungan dipohon beringin yang tumbuh sangar di tengah kampung. Kami berteriak-teriak memaksa tenggorokan masing-masing sampai serak. Kami bergelayut indah menggunakan akar-akar beringin yang lebat dan kuat. Tak lama kemudian seorang wanita berwajah teduh mendatangi kami, tangan kanannya menenteng kantong kresek hitam. Serta merta ia duduk di kursi tepat di bawah pohon kami bergelayutan. Senyumnya lembut menatap. Kami terdiam dan segera turun. Wanita itu adalah istri Pak Kepala Desa. Bu Amanah namanya.

“Ada yang mau es sirup?” bujuk beliau seraya tersenyum dan mengangkat kedua alis. Kami serentak mengangguk dan menyongsong bungkusan es yang beliau berikan. Kami yang sedang ditimpa kemarau serta merta membuka bungkusan es itu dan meminumnya tanpa ampun. Sempat kulirik Bu Amanah saat aku minum bungkusan es sirup rasa nanas ditanganku. beliau tersenyum menggelengkan kepala melihat setan-setan kerdil seperti kami. Kucoba menerka apa yang ada dipikiran Bu Amanah. Mungkin seperti ini: dasar anak-anak miskin, baru dapat sebungkus es sudah seperti dapat lotre senilai lima milyar. Seperti itulah kira-kiranya penafsiranku. Jujur waktu itu aku baru dengar kata lotre dari Pak Carik yang sering bercerita di warung. Pak Carik bilang kalau di kecamatan ada lotre yang hadiahnya uang lima milyar. Aku sendiri belum pernah lihat uang lima milyar itu berapa tapi yang jelas kata Pak Carik ada salah satu orang kecamatan yang minggu lalu bahagia sampai pingsan ketika mendapat hadiah lima milyar. Benarkah? Entahlah aku juga tidak perduli.

“Kalau mau es lagi, kita ke rumah ibu saja. Disana ada apem sama kacang godok,” ajak Bu Amanah seraya mengelus rambut ikalku. Aku tersenyum meringis. Kawanku yang bernama Rebo melonjak seketika, matanya melotot seolah baru saja terkena tendangan kaki sapi tepat dipantatnya, ia kaget, tersentak dan reflek ingin segera berlari. Tak kalah kaget dengan si Rebo, temanku Suro yang sejak kecil dari telinganya mengalir cairan berbau amis, warna putih kekuning-kuningan serta kental layaknya susu kaleng yang biasa kutemukan ditempat-tempat sampah kampung sebelah, hanya bisa melongo seperti orang terhipnotis. Mungkin imajinasinya sudah terbang membayangkan apem yang berwarna merah muda dengan tekstur kenyal-kenyal empuk masuk dalam mulutnya. Danjika digigit akan terasa manis gula pasir serta parutan santan kelapa setengah tua. Ah...kami bertiga sudah tidak sabar sampai di rumah Bu Amanah. Kami-pun segera berlari. Bu Amanah tersenyum memandangi.

Sesampainya di depan rumah sinom bercat hijau kami bertiga berhenti. Kami kelelahan, nafas kami tersengal-sengal senang. Kuputar kepalaku ke belakang, kularikan pandanganku ke arah Bu Amanah yang berjalan pelan, kulihat senyumnya tak berubah, masih sama seperti tadi. Senyum itu semakin lama serasa semakin misterius. Seperti berkata sesuatu. Sesuatu yang membuatku selalu ingin mengikutinya. Entahlah!

Kita bertiga menunggu di teras, kami duduk di bangku panjang yang terbuat dari bambu saat Bu Amanah masuk untuk mengambil apem dan kacang godok yang beliau janjikan.

“Apem sudah datang...” seloroh Bu Amanah dari dalam rumah. Kami buru-buru bangkit seraya mengusap-usapkan tangan kami di kaos ataupun celana pendek yang kami pakai. Kami tidak sabar! Tanpa dikomando kami segera menyerbu bulatan-bulatan warna merah muda yang sejak tadi kami nantikan. Apem! Kami makan seperti orang kesetanan. Satu apem satu gigitan. Bu Amanah memerhatikan dengan sedikit gelengan kepala “Kami memang benar-benar rakus,” kataku dalam hati dan tidak perduli.

Setelah makan apem Bu Amanah memberikan es sirup rasa nanas dan kami meminumnya dengan penuh nafsu. Tak hanya itu Bu Amanah juga membungkuskan kacang godok untuk kami bawa pulang. Kulirik Bu Amanah saat kakiku sudah meninggalkan halaman rumah, kutangkap senyum di wajahnya. Senyum itu, senyum yang misterius itu membuatku penasaran.

Sejak hari itu setelah pulang dari sawah kami rutin datang ke rumah Bu Amanah. Selalu ada apem dan senyuman Bu Amanah yang menyambut kami.

“Ibu punya cerita, siapa yang mau dengar?”tanya Bu Amanah saat kami rampung makan apem. Kami saling pandang, bingung. Bu Amanah langsung ikut duduk di bangku panjang. Beliau membukasebuah buku dan mulai bercerita.

“Alkisah, pada zaman dahulu kala, ada seorang putri bernama Roro Jonggrang, dia adalah anak seorang raja yang bernama Prabu Baka,” kisah Bu Amanah dengan sangat elok. Kami penasaran dan antusias mendengarkan. Aku yang duduk tepat di hadapan Bu Amanah tak bisa menyembunyikan rasa takjubku mendengar kisah Roro Jonggrang yang meminta seribu candi dan dibangun dalam satu malam pada Bandung Bondowoso sebagai syarat pernikahan.Dalam hati aku berdecak, begitu tinggi dan elok Roro Jonggrang meletakkan posisinya sebagai seorang perempuan, ia tak mau dengan mudah didapatkan oleh seorang laki-laki dan begitu besar cinta Bandung Bondowoso hingga bersedia memenuhi persyaratan Roro Jonggrang. Sungguh kisah cinta yang menakjubkan!

“Di buku ini banyak cerita yang sangat menarik.!” kata Bu Amanah usai bercerita. Ia lalu memandang mata kami satu-persatu. Kami terhenyak. Bu Amanah kembali tersenyum. Lagi-lagi senyum yang sama. Senyum itu membuatku bertanya dan penasaran.

“Pulanglah kalian. Besok ibu akan mengajari kalian membaca,” lanjut Bu Amanah sembari menutup bukunya. Kami bertiga mengangguk serentak lalu pulang dengan serta bungkusan roti kering dari Bu Amanah. Diperjalanan pulang kedua temanku teramat gembira. Seperti halnya jagung yang kelobotnya terkelupas, gigi-gigi tak terawat mereka yang kelihatan kuning keemasan menebar di sepanjang jalan. Sedangkan aku yang berjalan diantara mereka bertanya-tanya dan coba menerka-nerka arti senyum wanita itu. Susah! Belum bisa kumengerti.

Keesokan harinya aku dan kedua temanku kembali datang ke rumah Bu Amanah. Seperti biasa kami selalu disuguhi apem serta es sirup rasa nanas. Dan seperti biasa pula kami menerimanya seperi buaya lapar.

“Sudah siap untuk belajar?” tanya Bu Amanah saat kami usai meneguk sirup. Kami mengengguk serempak. Bu Amanah tersenyum bahagia lalu memberi kami kode untuk mengikutinya. Kami segera berdiri dan berjalan membuntutinya. Di ruang tamu Bu Amanah sudah ada papan tulis hitam. Kami dipersilahkan duduk menghadap papan tulis itu.

“A,”Seru Bu Amanah seraya menunjuk berbentuk segitiga yang belum pernah ku ketahui namanya. Kami saling memandang tidak paham. Bu Amanah lalu memberi kode pada kami untuk menirukannya. Serentak kami menirukan ucapannya. Bu Amanah tersenyum dan melenjutkannya.

Sejak hari itu, tujuan kami datang ke rumah Bu Amanah tak hanya untuk makan apem serta minum es jeruk rasa nanas, tapi lebih dari itu, yaitu untuk belajar membaca dan menulis, juga menghitung. Kami selalu datang dengan penuh semangat dan antusias belajar yang hebat, jadi tak ayal jika baru setengah tahun belajar, kami sudah bisa membaca dengan sangat lancar dan menghitung perkalian.

Bu Amanah tersnyum menatap kami, lagi-lagi dengan senyum yang sangat misterius, senyum yang membuatku terus bertanya dan coba menerkanya. Lalu pada saat umurku lima belas tahun aku baru mengetahui arti senyum itu. Seperti inilah artinya : “Kemarilah anak-anakku, kalian berhak mendapatkan pendidikan yang layak seperti anak-anak yang lainya.” Aku meneteskan air mata seraya mencium kaki Bu Amanah saat aku menyadari arti senyum misterius itu. Bu Amanah lalu mengangkatku dan mememelukku.

“Kamu tidak perlu berterima kasih pada Ibu. Itu sudah menjadi tanggung ibu. Percayalah semua orang pasti akan melakukan hal yang sama jika berada diposisi ibu.” ucap Bu Amanah seraya tersnyum seperti biasa. Senyum itu... tak mungkin bisa kulupakan. Dari seorang wanita yang kupanggil Bu Guru, aku dan teman-temanku mendapat pelajaran tanggung jawab serta kelembutan.

“Terima kasih atas semua ilmu yang engkau ajarkan. Aku tidak akan bisa menemukan diriku sampai engkau datang dengan senyum misteriusmu. Terima kasih untuk senmuanya!” ucapku seraya menatap langit yang dipenuhi bintang.

Wanita berbibir tipis dipangkuanku masih memejamkan matanya. Tampaknya ia sudah tertidur. Aku tersenyum tipis dan sedikit menggelengkan kepala. Kulepaskan nafas pelan lalu kudongakkan kepalaku perlahan. Kudapati langit menyajikan jutaan bintang. Mataku tertuju pada sebuah bintang yang paling bersinar. Kuperhatikan bintang itu seketika aku teringat pada sorang wanita yang kutemui lima tahun yang lalu.

Waktu itu aku baru saja pulang dari kota S untuk bertemu dengan keponakan Bu Amanah yang kerja di sebuah perusahaan penerbitan buku di Jakarta. Kebetulan minggu itu dia sedang berada di kota S, untuk mengadakan pameran. Keperluanku bertemu Akhsan, begitu nama keponakan Bu Amanah. Yaitu untuk menyerahkan tetralogi novelku supaya diterbitkan. Kata Bu Amanah, novelku sangat layak untuk di terbitkan, karenaceritanya sangat mengispirasi banyak orang, khususnya kawula muda Indonesia yang saat ini rentan galau lantaran asmara. Aku serahkan tetralogi novelku pada akhsan. Dia berjanji tiga bulan lagi akan memberiku kabar.Aku lalu diajak berkeliling menikmati buku-buku yang diobral murah meriah. Sebelum pulang Akhsan membekaliku dengan beberapa eksemplar buku. Aku menerimanya dengan senyuman dan terima kasih pada pria bertubuh tingi tegap itu. Ia tersenyum seraya mengenggukkan kepalanya dan aku segera pamit.

Sebelum pulang, aku mampir di taman Kota S yang letaknya tak jauh dari gedung tempat aku bertemu Aksan. Aku duduk di bangku panjang yang berada tepat dibawah pohon beringin. Kubuka salah satu buku yang diberikan oleh Aksan dan mulai membacanya. Namun belum selesai kubaca halaman pengantar, seorang wanita tiba-tiba datang menyapaku. Kulihat bola mata wanita itu berkaca-kaca.

“Maaf, boleh saya duduk disini?” katanya meminta izin. Aku mengangguk.

“Sebenarnya saya bisa saja duduk dibangku lain tapi, saya punya banyak kenangan dengan bangku ini” sambung wanita disampingku

“Kalau boleh saya menebak, pasti kenangan itu dengan pacar anda...”

“Heh...itu sudah jadi kenanganku.”

“Kenapa harus jadi kenangan kalau bisa jadi masa depan?”

“Maksudmu?”

“Cinta itu memiliki dunia sendiri. Kenapa harus menyerah jika belum menemukan dunia itu?”

“Aku tidak menyerah, tapi perbedaan diantara aku dan dia yang menimbulkan kenangan dihubungan kita.”

“Perbedaan itu pasti ada, tapi tinggal bagaimana kita menyikapinya tanpa harus mengorbankan perasaan.”

“Bagaimana kalau menyangkut kebahagiaan orang tua?”

“Mereka akan mengerti sampai kamu menemukan dunia yang akan mengantarkan kebahagian untukmu.”. Wanita disampingku diam. “Tunggu apa lagi? Kenapa masih duduk dibangku kenangan jika bangku masa depan menunggu?” lanjutku lalu tersenyum kecil. Wanita itu tersenyum. Matanya berbinar semangat. Ia menganguk padaku lalu segera berlari dengan langkah yang pasti. Aku tersenyum lega. Kubuka kembali buku di tanganku, namun belum sempat aku menghabiskan satu kalimat pikiranku kembali dialihkan oleh kedatangan seorang wanita. Dalam hati aku sedikit dongkol, tapi rasa dongkol itu hilang seketika saat aku menatap wajah wanita dihadapanku. Tak hanya pikiranku yang dialihkan, tapi semua yang ada pada diriku telah teralihkan untuk terus menatap wajahnya.

“Terima kasih,” kata wanita berambut gelombang. Aku tergagap “U...ntuk?”

“Sudah lama aku tidak melihat sahabatku itu tersenyum. Setiap hari dia selalu bersedih karena perpisahan itu. Kalau boleh tahu apa yang kamu katakan padanya hingga senyumnya kembali terbit?”

Aku tersenyum mendengar pertanyaan wanita dihadapanku. Sebelum menjawab pertanyannya kupersilahkan ia duduk terlebih dulu. Ia setuju, rasa gugupku sudah mulai hilang dan kami-pun ngobrol banyak hal. Ia banyak bertanya dan bercerita padaku. Aku semakin kagum padanya, kurasa ia-pun begitu. Hubungan kami semakin dekat ketika temannya yang datang membawa kenangan itu sudah menemukan kebahagiaannya.

Wanita berambut gelombang itu bernama Tiara. Saat ini ia masih duduk di bangku kuliah jurusan sastra Inggris di salah satu perguruan tinggi di kota S. Ia sangat baik dan cantik tentunya. Dari Tiara aku mendapatkan rasa nyaman dan kelengkapan hidup. Aku berjanji tidak akan melepaskan wanita ini.

Pada saat pertemuaku yang ketiga dengan Tiara, kukatakan padanya kalau aku mencintainya dan betapa bahagianya aku ketika ia merasakan hal sama. Setelah tiga bulan sejak kuungkapkan perasaanku, tiara mengajakku bertemu dengan orang tuanya. Awalnya aku menolak, namun karena rengekan manjanya, akhirnya aku luluh juga.

Sore itu, selepas asar aku bertemu ayahnya. Aku gagu seketika. Badanku seperti ditelanjangi oleh tatapan mata tajam itu. Sungguh aku mati kutu saat ayah tiara bertanya latar belakang keluargaku. Maka dengan sedikit memandang pada pundak ayah tiara, aku menjelaskan asal-usulku. Lalu skak mat. Aku menggantung diri dengan kejujuranku. Hubungan kami tak mendapat restu. Tiara tak diperbolehkan lagi bertemu denganku.Aku pulang menelan ludah pilu.

Lewat surat kecil yang kutitipkan pada teman kuliahnya, Kukatakan pada Tiara kalau aku tidak akan menyerah untuk terus berjuang demi mendapatkan restu Ayahnya. Dua hari kemudian suratku dibalas. Isinya singkat saja “Besok di taman jam 15.00 tepat”

Keesokan harinya aku datang ke taman. Tiara sudah menunguku. Kudekati ia lalu kusentuh undaknya perlahan. Ia menoleh lalu memelukku. Seketika tangisnya pecah di dadaku. Saat itu juga, dalam hati aku berjanji: akan kuubah takdir kemiskinan yang menghalangi cinta kita!

Satu tahun berlalu. Aku berhasil mengubah status sosialku. Novel-novelku laris di pasaran, bahkan salah satunya akan diangkat ke layar lebar. Namun sayang, hubunganku dengan Tiara tak kunjung mendapat restu dari ayahnya. Aku tidak menyerah, aku akan terus berusaha mengubah paradigma ayah Tiara yang memandang lemah orang sepertiku. Aku terus mencoba membuktikan bahwa diriku layak bersanding dengan Tiara. Hingga saat ini hubunganku dengannya belum juga mendapat restu.

Kupejamkan mataku. Bagaimana mungkin aku meneyerah mendapatkan orang yang benar-benar kucintai? Sudah terlalu banyak yang kudapatkan dari seorang wanita dengan sangat mudah. Mulai dari cinta, ketulusan, kelembutan, kasih sayang serta masih banyak lagi yang tak mampu kusebutkan. Mana mungkin aku menyerah untuk wanita yang kucinta? Akan kudapatkan dia dengan cara terhormat tanpa harus merendahkan dia sebagai wanita. Tak perduli seberapa berat dan susahnya mendapatkan restu orang tua Tiara, aku tidak akan menyerah. Tidak! Bahkan sejengkal !

“Aku mau pergi bersamamu. Kita tinggalkan tempat ini. Tidak perlu kau perdulikan lagi restu orang tuaku!” kata Tiara tiba-tiba. Aku tersenyum mendengarnya. Dalam hati aku membatin, ia memejamkan mata tapi tidak tidur.

“Tunggu apa lagi?” desak Tiara bangkit dan menatapku.

Kugelengkan kepalaku.

“Kenapa?”

“Akan kudapatkan restu orangtuamu!”

“Percuma. Hati mereka kaku, sama seperti ambisi mereka yang melulu dunia.”

“Aku tidak akan membawamu pergi tanpa restu mereka!”

“Lalu apa bedanya? Aku sudah ada disini, bersamamu!”

“Kalau begitu pulanglah.”

“Tidak.”

“Pulang!”

“Tidak!”

“Kenapa kau begitu murah, begitu mudah? Apa kau tak ingat kisah Roro Jonggrang yang sering kuceritakan? ”

Mata Tiara berkacamemandangku. Aku berdiri dan berjalan ditepian tebing, angin berhembus menyapu wajahku. Dalam hati, aku berharap Tiara bisa menghargai dirinya seperti caraku mencintainya.

Yogyakarta, 27 maret 2012




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline