Oleh Semino Gelumbur
Aku paling suka tulisan pendek atau cerpen Pak Budi Darma, Guru Besar Sastra Universitas Negeri Surabaya. Maksudku, dalam waktu singkat aku bisa terkesima dan dapet sesuatu dari tulisan beliau. Tidak berarti yang pendek lebih menarik dari yang panjang. Hanya soal kebelet saja.
Dalam tulisan ini, Aku tertarik untuk melihat lebih dalam dan memotret jejak jiwa tokoh utama, Bik Rimang ciptaan Budi Darma.
Cerpen 'Sebuah Kisah di Candipuro' (Jawa Pos, 26/4/2020) karya Budi Darma, Aku pendeliki. Maklum, mata tua. Remang remang kubaca dan kupahami tokoh utamanya, Bik Rimang. Kok mirip kata remang? Kebetulan, Aku paling suka kata yang ada kaitan dengan kata remang atau 'something unknown'. Unsur ini yang paling sering bikin Aku kepo.
Ada daya tarik lain. Rimang adalah nama kuda. Ingat Gagak Rimang? Nama kuda tunggangan Aria Penangsang. Aku suka juga unsur ini, keperkasaan.
Selain itu, dalam bahasa Batak makna kata ini adalah timbang. Aku sangat suka unsur ini. Makna kata dalam ranah kewajaran, seperti pertimbangan, keseimbangan, atau equiliberium.
Bik Rimang dibesarkan dalam budaya pandalungan (campuran budaya Jawa Madura). Saat kecil, kerja keras dan sabit adalah kehidupan dia. Ikut Bapak ngarit pakan ternak. Kerja keras dan ketaatan pada orang tua (karakter pandalungan) terbangun dalam jiwanya.
KUASA NALURI
Ketidak-seimbangan jiwa anak manusia bikin jiwanya keos, menurut pakar Psikianalisa. Perkembangan pikiran, rasa, dan beban fisik Bik Rimang kecil bisa dikata kurang seimbang, dan puncaknya terceritakan jiwanya sakit, otaknya miring.
Saat pikiran dan rasa 'speechless' (baca: menyerah), bawah sadar manusia mengambil-alih kuasa atas jiwa manusia, kata Jung, Bapak Psikianalisa. Apa itu? Naluri manusia.
Dalam cerpen itu, Ibu Bik Rimang menyimbolkan naluri pertahanan diri manusia. Saat ibu melantunkan suara lembut, tanpa sadar Bik Rimang kecil bangkit dan menari mengikuti alunan nalurinya mengambil celurit.