Dua kali ledakan bom berturut-turut terjadi di sekitar Jalan KH Ahmad Dahlan, Gang Sekuntum, Kelurahan Pancuran Bambu, Kecamatan Sibolga Sambas, Siboga, Sumatera Utara, Rabu (13/3/2019) pukul 01.20 WIB.
Seorang Ibu merelakan nyawa sendiri dan anaknya yang masih berumur dua tahun melayang dengan meledakkan bom bunuh diri dari pada menyerahkan diri kepada aparat keamanan negara. Sebuah pertanyaan besar bagi para manusia pada umumnya. Dan berdasarkan peristiwa peristiwa ledakan bom yang terjadi di Indonesia, ini terjadi demi keyakinan.
Jika Anda harus memilih, Anda akan menjatuhkan pilihan pada keyakinan atau nyawa?
Tentu, paling tidak ada 3 pilihan: (1) pilih nyawa selamat, (2) pilih keyakinan dengan rela kehilangan nyawa, dan (3) pilih dua-duanya, mempertahankan keyakinan dan menyelamatkan nyawa.
Tanggung jawab dan Mental Model
Setiap manusia akan bertanggung jawab atas keselamatan dirinya. Semua pilihan yang manapun adalah bentuk pertanggungan jawab atas keselamatan dirinya. Yang berbeda adalah 'mental model' mereka. Bagi yang ber-'mental model' menghargai kehidupan dan bersikap realistis, ia akan menghindari tindakan untuk melenyapkan nyawa diri sendiri atau orang lain apalagi nyawa anak kandung sendiri. Bagi yang ber- 'mental model' ajaran-ajaran yang cenderung bi-polar atau hitam-putih, ia akan memilih salah satu kutub dengan jalan meniadakan kutub yang lain. Bentuk tanggung-jawabnya adalah bertindak untuk mempertahankan 'putih' dengan jalan bertindak untuk meniadakan sesuatu yang diyakini 'hitam'. Salah satu prakteknya meledakkan bom. Yang ketiga, yang ber-mental model sesuai doa sapu jagad: 'Selamet ndunyo selamet akherat' atau 'nggayuh tata lahir lan tata batin santosa' tidak akan membiarkan kerusakan lahir apalagi meledakkan diri berkeping-keping atas nama kedamaian batin. Meledakkan diri dengan bom bukan pilihan. Bentuk tanggung jawabnya adalah tindakan untuk kebersamaan, perdamaian, keselamatan.
Waspadai Keyakinan Bias
Yang memprihatinkan adalah keyakinan yang bias ideologi. Tidak ada yang salah manusia berideologi karena itu pilihan orientasi agar memiliki arah, namun ideologi eksklusif yang haus kuasa ekonomi dan politik untuk kelompok sendiri akan menumpulkan pikiran dan kemauan individu
yang unik dan murni. Apalagi hanya mengenal hitam putih atau KAMI vs MEREKA. Ini oversimpifikasi, sehingga yang ada di benak adalah KAMI tertindas atau MEREKA kulibas dengan BOM. Pakai nalar tetapi dengan abaikan nalar. Kami rela terbunuh, namun Merekapun terbunuh. Ujung-ujungnya pada hitungan angka, AKU mati MEREKA mati. Secara kuantitas menang, tetapi paradok dengan sifat keyakinan yang kualitatif. Apakah nilai nyawa anak dipandang secara kuantitatif? Bingungkan?
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah BOM dijadikan piranti untuk mengeksekusi ketidakadilan demi keadilan menurut persepsi subyektif pelaku teroris. Lebih lebih peledakan BOM bunuh diri direpresentasikan sebagai tindakan heroik untuk menghancurkan musuh Yang Maha Kuasa. Tidakkah ini hanya suatu klaim yang tidak benar benar berdasar? Apalagi bila ini hasil pikiran yang termanipulasi.
Indonesia tidak dalam perang, so hargai kehidupan.
Salam cinta anak manusia dan kehidupan,
Sammy