Oleh Semino Gelumbur
Baru sekarang Iwan rasakan, ia diserang karena ujarannya. Dulu dan biasanya buaanyak orang bertepuk mengiringi ujaran lagunya.
Apa yang membuat reaksi atas ujaran Iwan berbeda saat ini? Di kepala Anda, aku yakin, ada sesuatu yang siap dilontarkan untuk menjelaskannya. Siapapun Anda. Apa?
Apa pentingnya ujaran Iwan? Sejarah mencatat ujaran ujaran Iwan semuanya fals bagi rezim yang memelihara ketidak adilan atau ke-dholim-an. Sejarah mencatat ujaran ujarannya mengiringi peristiwa besar yang terjadi di Bumi Nusantara. Sejarah mencatat terikan Iwan adalah untuk keadilan. Apakah Iwan bergeser ke naungan rezim 'dholim'? Di sinilah argumen berpremis definisi dimanfaatkan untuk memodifikasi posisi keberpihakan Iwan.
Berada pada kelompok 'dholim' atau 'anti-dholim' kah Iwan saat ini berdiri? Mayoritas orang Indonesia biasanya menerima begitu saja apa yang ditunjuk Iwan sebagai ketidak-adilan atau sepakat dengannya karena konsistensi dan sikap kritis Iwan. Namun, baru sekarang, ia diserang, tentu dengan argumen klasifikasi berdasarkan redefinisi implisit kata 'apa dholim' yang diungkapkan untuk dianggap seolah telah diamini bersama. Artinya, Iwan dan penyerangnya memaknai secara berbeda atas sesuatu atau seseorang yang masuk kategori 'dholim' dan tidak adil.
Reaksi negatif terhadap Iwan itu akibat dua hal. Visi kolektif dan ancangan berebut kue kuasa. Pertama, Visi kolektif Alumni 212 adalah 'persaudaraan umat' atau 'persatuan umat'. Siapa? tentu umat Islam Indonesia. Ini identitas yang hendak dibangun agar dapat mengakomodasi seluruh muslim Indonesia. Ini salah satu strategi semantik dalam wacana politik atau ideologis. Secara kognitif seharusnya logis seluruh muslim di Nusantara ini untuk menjadi satu kekuatan besar yang utuh. Fakta tidak sebangun dengan wacana. Ada kelompok kelompok muslim yang tidak akan ikut bergabung karena punya pandangan yang berbeda. So, identitas 'persaudaraan umat' yang mereka bayangkan baru ada pada tataran persepsi dan cita-cita mereka. Selain itu, prakteknya, mereka masih tetap membatasi 'persaudaraan umat'seperti yang mereka namai sendiri 'Alumni 212'. Artinya, itu kelompok yang terbatas. Dengan kata lain, itu eksklusif dan karenanya merupakan gerakan ideologi, tapi problematik, itu bisa juga dikatakan 'ini gerakan kegamaan'. Saya melihat ini aktivitas tipikal suatu kelompok yang ingin menunjukkan power dan mempengaruhi posisi peta kekuasaan. Sampai di sini, masalah ini tidak bisa lepas dari kaitan dengan penguasa, Jokowi. So jelas ini gerakan persaudaraan yang secara implisit diarahkan anti-petahana, #2019GantiPresiden, atau 'penista agama'. Karena itu, komentar Iwan Fals diserang karena dipersepsikan akan membelokkan arahan implisit tersebut. Coba perhatikan komentar Iwan. Apa yang salah?
"Wuiiih penuh ya, Alhamdulillah tertib dan lancar, para pedagang senang, mudah2an acara reuni 212 bisa 3 ata 4 kali dalam setahun, menjaga Silaturahmi, jaga Alam, Mendoakan Indonesia yg sedang terus bebenah, sadar kebersihan, saling menyayangi sesama dgn penuh keikhlasan," tulis@iwanfals
Komentar Iwan di atas adalah cermin sikap individu terhadap suatu peristiwa besar. Sebagai orang muslim ia bersyukur melihat peristiwa yang dihadiri jutaan muslim. Alhamdulillah event berjalan lancar. Ia mengapresiasi acara itu menguntungkan banyak pedagang. Mengapresiasi nilai nilai kebersamaan (silaturahim) dan saling menyayangi antar sesama, serta ketulusan. Tidak ada kata kasar yang terlontar. Secara kebahasaan, ia berbahasa baik dan benar. Tidak ada pelanggaran kesantunan.
NAMUN, sesuatu yang tersirat tidak disukai penyerangnya. Tanpa mengungkapkan, pembuli Iwan mendifinikan 'pemerintah adalah entitas dholim'. Berdasakan difinisi implisit kontroversi ini, penyerang mengklasifikasikan Iwan menjadi abdi petahana.
Dus Iwan benar benar fals di telingah dan pikiran mereka. Dus penyerang memojokkan Iwan dengan sindirin membela 'junjungannya' [yang merujuk pada petahana]. Dus, pernyataan Iwan terhadap Reuni 212 dimanknai negatif alias nyindir.
Dulu Iwan dipersepsikan sebagai penentang 'kedholiman' sekarang sebagai kawan 'kedholiman'. Dan framing semacam ini dalam analisis wacana ideologis adalah keniscayaan. Kalau citra Iwan dianggap tetap konsisten anti-kedholiman, maka penyerangnya akan terepresentasikan secara negatif. Dholim sendiri. Artinya, Iwan tetap Fals terhadap 'ketidak adilan'.