Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Melipat Kenangan

Diperbarui: 23 September 2017   23:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

frankie965.com

Sebenarnya, aku tak peduli jika Tuhan hanya mencipta seorang manusia saja di dunia ini, walaupun itu hanya ada aku saja. Tidak. Sebab, aku bahagia dengan pikiranku sendiri tanpa ada yang bisa menyetir dan membelokkan sesuai dengan kemauan mereka. Namun, aku mulai berubah sejak sosokmu menyentuh lensa mataku. Kala itu pagi hari, saat matahari masih sibuknya menyebar energi pada tiap helai daun bunga matahari di rumah sakit itu. Detik itu, kamu sudah mulai memenjara isi pikiranku bahkan bila aku sedang dalam kondisi sedih kamu mampu menakhodai pikiranku sesuai dengan kehendakmu.

Pernah suatu ketika, aku memasuki rumah, langkah-langkah kaki kecilmu menderap menuju ke arahku. Bibirmu tersungging. Tipis. Manis. Aku terbuai. Hari itu, lelahku berguguran bagi dedaunan di musim gugur yang selalu ikhlas berciuman dengan bibir-bibir tanah busuk. Tak ada tingkahmu yang istimewa, menurut akal sehatku, tapi tetap saja bumi seakan digenggam oleh raksasa hijau sembari tertawa sinis dan berkata, "sebentar lagi kau akan menjadi santapanku." Dan kamu pasti tahu, ketika itu terjadi maka bumi yang selalu berputar pada porosnya seakan berhenti sejenak, ia menunggumu mengucap kata yang hanya kamu dan Tuhan yang mengerti apa maknanya.

Seandainya, aku mampu melipat kenangan maka akan kulipat semua kenangan tentangmu. Kulipat dan kusimpan dengan rapi dalam lemari hatiku yang paling dalam, yang paling gelap, hingga aku lupa untuk membukanya kembali. Sebab, semua kenangan tentangmu selalu membuat mataku memerah dan sedetik kemudian kantong mataku memberat dipenuhi airmata yang tak pernah bisa kubendung.

Terkadang, bagi manusia bodoh sepertiku kenangan bagai Tuhan terutama lagi kenangan tentang kamu. Yah, kamu.

Di siang hari yang terik, kudapati dirimu sedang menatap awan.

"Lihatlah awan-awan itu berlomba mencari naungan di bawah sayap malaikat." Katamu sambil menunjuk satu persatu awan-awan putih yang sedang bergerak ke arah barat.

"Benarkah demikian?" tanyaku penasaran.

"Tentu saja, lihatlah sayap malaikat itu."

Kutelisik langit, tak satupun sayap yang terlihat di sana. Kamu tak menyerah. Tanganmu terus menunjuk sayap malaikat di barat.

Aku menggeleng.

"Tak ada apa-apa di sana."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline