Lihat ke Halaman Asli

[Cerpen] Nenek Saini

Diperbarui: 15 Agustus 2016   18:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: aneuk-gayo.blogspot.com"][/caption]

Kulangkahkan kaki perlahan ke luar dari rumah Nenek Saini. Perban putih membalut leher bagian kananku. Senyum sinis terlukis di wajahku. Rasa terbebas dari keinginan, bukan keinginan, tapi kebutuhan dasar yang kuimpikan sejak aku berusia sepuluh tahun akhirnya terpenuhi setelah menunggu tujuh tahun lamanya. Penasaran itu menguap ke langit jingga petang itu. Aku menemukan sekeping diriku yang hilang.

Nenek Saini melambai lembut ke arahku, kemudian berkata, “Lain kali datang lagi yah, Naomi,” Lambaian lembutnya kali ini semakin kencang, bukan, semakin hangat. Aku menoleh ke belakang. Menatapnya dengan cahaya kilatan di mataku. Ia masih berdiri di teras rumahnya. “Makasi Nek,” teriakku. “Sama-sama.” Ia pun masuk ke rumahnya.

Setelah dari rumah Nenek Saini, darahku berdesir lebih kencang. Jantungku berdegup tak karuan. Kesenangan ini, rasa ini, aku suka… Hatiku berceloteh riang.

***

Tiap sore pada hari jum’at, ia selalu duduk santai di teras rumahnya. Matanya menerawang. Awal mula aku melihatnya, tujuh tahun yang lalu.

Saat semua tugas sekolah selesai kukerjakan. Aku akan ke lapangan yang berada di seberang rumahku. Di sana, aku bisa berlari riang sambil mengejar capung atau sekadar berbaring menatap awan di langit. Awan di sore hari sangat indah, apalagi bila cuacanya cerah seperti sore ini. Terkadang, aku bisa melihat awan-awan itu membentuk sesuatu yang aneh. Kuda Pegasus, malaikat bersayap, bakso empuk berwarna putih, dan banyak lagi bentuk lainnya sesuai dengan khayalku sore itu.

Sore ini, aku telah mengejar capung selama enam belas menit tapi hasilnya nihil. Capung-capung itu bertambah gesit, semua jurus menangkap capungku tak berguna. Aku lelah. Kubaringkan badanku ke rumput hijau. Kutatap awan-awan putih di langit, kali ini bentuknya spesial, gulali. Aku menelan ludah.

Demi mencari bentuk lain, aku berputar seratus delapan puluh derajat. Pada posisi ini, hanya terlihat gumpalan-gumpalan kecil awan putih. Tak sengaja, mataku bertemu dengan sosok Nenek yang sedang duduk santai di teras rumahnya. Aku bangkit, sambil duduk bersila kutatap dengan seksama Nenek itu.

Tatapannya kosong, wajahnya diputar ke kanan dan kiri. Ia bagai singa yang mencari mangsa di padang rumput, mirip dengan film dokumenter yang sering kusaksikan di channel favoritku. Mulutnya merapal kalimat dengan cepat. Gumpalan asap keluar dari sela-sela jendela yang terbuka. Aroma kemenyan terasa sangat mengganggu hidungku.

Sejurus kemudian, seorang pria yang sedang mengendarai sepeda motor tiba-tiba saja berhenti. Pria itu berjalan dengan tatapan yang hanya tertuju pada wajah nenek itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline