Lihat ke Halaman Asli

Partai di Ujung Cinta, Teman Ahok di Ujung Tanduk

Diperbarui: 3 Maret 2016   20:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Photo : SF Collections"][/caption]

Karir Politik Ahok

Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok, bukanlah orang bodoh dalam hal politik. Dia faham betul dengan kata bijak “Kesempatan Tidak Datang Dua Kali”. Hal ini dapat dibuktikan dari rekam jejaknya dikancah politik, dimulai dari kota kelahirannya Belitung Timur hingga Ibukota DKI Jakarta.

Diawali dengan terpilihnya Ia sebagai Anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur dari Partai Perhimpunan Indonesia Bersatu tahun 2004 Ia memulai karir politiknya, jabatan ini hanya dijalaninya selama 1 tahun, yang kemudian mencalonkan diri menjadi Bupati Belitung Timur diusung oleh koalisi partai kecil dan terpilih, jabatan Bupati pun hanya dijalaninya selama 1 tahun yang kemudian Ahok tergiur menguji lagi peruntungannya dengan ikut pemilihan Gubernur Bangka Belitung dan apa boleh buat Ia gagal. Tahun 2009 Ia mencoba lagi karir politiknya melalui Partai Golkar dan berhasil melenggang ke Senayan. Menjelang tahun 2012 Ia sebetulnya ingin maju kembali menjadi calon gubernur namun kali ini Ia membidik Sumatera Utara namun gagal karena tidak ada partai yang mengusungnya, namun Ahok tidak putus asa Ia kembali melirik Bangka Belitung  dan sudah ada komunikasi dengan Anas Urbaningrum dan juga didukung oleh Mardzuki Ali namun terbentur kepentingan dengan Zulkarnain Karim, Ahok juga mengatakan bahwa Ia tidak akan takut dipecat oleh Golkar jika kelak jadi maju menggunakan Partai Demokrat, namun pinangan Gerindra lebih menggiurkan hatinya terlebih Ia mengetahui akan dipasangkan dengan Jokowi yang mulai menanjak popularitasnya dengan metode blusukan yang sudah dimulainya lama sebelum pencalonan, hingga Ahok akhirnya sampai ditangga puncak kekuasaan DKI1.

Pada awal Ahok resmi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, penolakan terhadap dirinya sudah terjadi dimana sebagian masyarakat dengan mengetengahkan isu etnis dan agama menunjukkan resistensi dengan membentuk Gubernur tandingan. Ahok tentunya sudah memperkirakan hal ini akan terjadi maka sebelumnya Ia sudah siap dengan merapat ke Jokowi dan PDIP dengan cara mundur dari Gerindra.

Siapa yang tidak tahu dengan reputasi dan kehebatan PDIP, apalagi saat ini mereka tampil sebagai pemenang Pemilu dan kader Partainya menjabat sebagai Presiden RI, tentunya menjadi idaman bagi setiap petualang politik untuk dapat bekerjasama dengan mereka.

Ahok sadar dengan dirinya, bahwa resistensi terhadap dirinya selama ini tidak bisa dianggap enteng bahkan jika Ia tidak hati-hati dan salah perhitungan, bisa-bisa terjungkal pada PILKADA DKI Jakarta 2017 mendatang. Posisi yang dia capai saat ini bukanlah hasil kerja keras dirinya dan bukan dari hasil menjual namanya pada 2012 yang lalu. Kelemahan yang ada pada dirinya saat ini sedapat mungkin harus dinetralisir sedemikian rupa agar tidak menjadi salah satu faktor kekalahan dirinya.

Adanya Relawan Teman Ahok yang selama ini terus berjibaku banting tulang mengumpulkan KTP dukungan dengan segala cara hanyalah sebatas ‘karpet lusuh’ yang terbentang untuk Ahok sampai keanak tangga pertama sebuah rumah panggung nan megah, sedangkan untuk menuju pintu utama dan membukanya Ahok masih harus meniti selusin anak tangga lagi yang tentunya lebih berat daripada perjalanan menuju anak tangga pertama. Selusin anak tangga yang harus di titi oleh Ahok sangat curam dan licin, Ahok membutuhkan pegangan untuk menuntunnya agar selamat dari hadangan anak tangga tersebut.

 

Strategi Politik Mulai Jalan

Pecahnya PDIP dengan Gerindra pada Pilpres 2014 membuat Ahok menjadi serba salah, kedua partai yang mengusungnya menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta harus berhadap hadapan, hingga dirinya selalu menjadi sorotan publik dan mempertanyakan dimana kakinya berpijak saat itu. Sebenarnya situasi ini sejatinya adalah situasi yang cukup sulit untuk disikapi, tapi tidak bagi politikus sekelas Ahok, Ia justru menikmati kondisi itu, dimana Ia akan tetap menjadi pemenang. Jika Prabowo yang memenangkan pertarungan maka dirinya adalah tangan kanan Presiden tentunya posisi tawarnya terhadap Jokowi akan semakin besar, sebaliknya jika Jokowi yang memenangkan pertarungan maka secara resmi dirinya yang akan menjadi orang nomor 1 di DKI Jakarta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline