Lihat ke Halaman Asli

Thomas Sembiring

Blogger KereAktif

Demo, Data dan "Omdo"

Diperbarui: 15 September 2018   15:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

deviantart.com › Journals

Dulu waktu mahasiswa beberapa kali demo, kerap tidak nyaman. Karena katanya mahasiswa tapi mengkritik hanya sekadar "pokoknya". Tidak ada parameter mengukur keberhasilan atau kegagalan pemerintah. Seperti punya IPK 3,0 tapi tak tahu hasil ujiannya berapa dari Mid hingga Akhir Semester.

Tahun 2010 sebuah forum studi digelar di Surakarta oleh komunitas. Mendorong sebuah gerakan mahasiswa yang berbasis data. Sejak itu, makin berani mengkritik setiap rencana demonstrasi mahasiswa bila sekadar ingin tampil orasi dan cari gengsi sebagai aktivis.

Suatu ketika menyikapi kasus almarhumah Ruyati yang terancam pancung kala itu. Jelang aksi demonstrasi di tugu Jogja, bersama gerakan mahasiswa Jogja kala itu, bertemu beberapa kali. Merancang rencana demonstrasi penyikapan perlindungan TKI.

Beberapa hari jelang aksi, kami sempat berefleksi dalam diskusi. Saya hantar dengan pertanyaan, apa tujuan dan sasaran aksi demonstrasi? Kala itu demonstrasi mahasiswa sedang tidak menarik bagi publik karena pemberitaan soal aksi demonstrasi di Makassar yang kerap berujung kisruh hingga perusakan sarana publik.

Jadi pertama-tama adalah melihat tujuan aksi dan sasarannya. Lalu selanjutnya mempertanyakan soal bentuk dan efektivitas aksi. Mencari bentuk yang mudah dikenali rakyat dan meraih atensi. Sehingga ada kesadaran publik yang terbangun secara kritis. Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah setelah aksi, apa lagi yang akan dilakukan.

Pertanyaan ini penting untuk menjaga gerakan mahasiswa tidak jadi organ reaktif. Organ yang sekadar demo mengikuti gendang media. Ganti headline, ganti tema demo. Sehingga proses demonstrasi mahasiswa kehilangan esensinya, sebagai gerakan intelektual. Kehilangan marwahnya sebagai gerakan orang terdidik dan berpikir, yang bisa mencari pilihan aksi yang simultan serta punya daya tekan berbasis data.

Seingatku, setelah demo soal TKI itu. Tak pernah ada lagi demonstrasi lebih lanjut terkait hal yang sama. Tak ada juga upaya melakukan riset jumlah TKI yang terancam hukuman mati, sudah dihukum mati, hingga bagaimana alternatif gagasan disampaikan untuk didengar pemerintah demi perlindungan warga negara diluar sana. Tak ada petisi, meski saat itu gerakan digital melalui petisi mulai tumbuh.

Hari ini kita mendengar mahasiswa berdemonstrasi menggunakan hak demokrasi. Kita pantas apresiasi pilihan aksi mereka. Tapi juga kita mesti lebih kritis dari mahasiswa. Dunia berubah, suara bebas sebebas-bebasnya. Alam demokrasi bahkan cenderung bablas. Demonstrasi tidak berubah juga bentuknya meski zaman sudah berubah.

Coba tanya bila mahasiswa bersuara, apa dasar aksi mereka. Apa data yang mereka sampaikan dan gagasan alternatif yang mereka usulkan. Apa alasan rakyat percaya pada orasi gagah mereka, selain agitasi dan retorika kosong yang diteriakkan lantang. Apa data dan fakta yang mereka bisa sajikan untuk mencerdaskan publik. Agar jangan sampai demo soal rupiah yang melemah, tapi gagap saat rupiah dirampok di depan kampus mereka.

Tentu kita tak mau lahir gerakan mahasiswa yang hanya pandai bicara tanpa data, tanpa alternatif gagasan. Tak bisa pula merakyat mendengar suara masyarakat lebih dekat. Sebab kita punya contoh di DPR untuk kita renungkan. Mantan aktivis mahasiswa yang dulu gemar demo, sampai sekarang gemarnya demo bicara ketimbang demo kinerja.

Kita ingin mahasiswa dan gerakan demokrasi yang berkualitas. Kita dukung orang muda yang solutif dan cerdas, ketimbang sekadar teriak lantang dari atas mobil komando. Kita ingin gerakan mahasiswa yang mencerdaskan dan kelak di masa depan menjadi pemegang komando. Bukan sekadar calon pemimpin yang cuma bisa omdo.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline