Lihat ke Halaman Asli

Thomas Sembiring

Blogger KereAktif

Damailah Tanah Papua

Diperbarui: 21 November 2017   20:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menilik sejarahnya, Soekarno melalui operasi Trikora yang digemakan akhir tahun 1961 di alun-alun utara Yogyakarta menegaskan upaya pembebasan Papua yang saat itu dikenal sebagai Irian Barat. Itikad besar Soekarno kala itu jelas dan tegas, membersihkan sisa-sisa kolonialisme Belanda dari kawasan dan membawa masa depan kepada seluruh wilayah yang menjadi bagian Indonesia.

Sayangnya, pasca keberhasilan diplomasi politik luar negeri yang membawa Papua ke pangkuan Indonesia tahun 1963, situasi rupanya cepat berubah. Tak butuh waktu lama, situasi gembira pasca dukungan Amerika terhadap kedaulatan Indonesia di Papua berubah setelah tertembaknya Presiden John F Kennedy yang merupakan karib Soekarno beberapa bulan kemudian.

Beberapa tahun kemudian, sejarah mencatat Soekarno tumbang. Itikad baik Soekarno membersihkan sisa kolonialisme Belanda berhenti di tempat. Soeharto yang disukai rezim baru Amerika, membawa masuk investasi untuk tambang emas yang diyakini datanya sudah dipegang Belanda sejak lama. Sayangnya sejak saat itu hingga puluhan tahun berkuasa, sentralisme pembangunan di Jawa membuat ketimpangan. Papua (seluruh daerah luar Pulau Jawa sebenarnya) terabaikan dan dikontrol penuh dengan kekuatan angkatan bersenjata yang dalam praktiknya melahirkan luka batin bagi rakyat Papua.

Bicara luka batin, inilah problem besar Papua yang tak akan mudah diselesaikan. Anda kalau diberi sekotak permen sementara pemberi permen mengambil emas anda yang belum anda pahami nilainya, mungkin senang pada awalnya. Tapi saat tahu bahwa emas anda bisa membeli segudang permen anda mungkin akan merasa terluka karena dibohongi. Belum lagi kalau si pemberi permen kali berikutnya datang mengambil emas anda dengan ancaman senjata. Saya yakin anda tak akan pernah bisa melupakan dengan mudah. Itu baru soal ditipu per orang, bagaimana kalau yang ditipu dan dikadali sebuah komunitas besar. Bisa dibayangkan tak mudahnya menyembuhkan luka batin sebuah bangsa.

Hari ini kita mewarisi problem besar yang lama diabaikan. Bukan cuma persoalan Papua, sebenarnya warisan daripada kebijakan Soeharto itu telah membuat lelah bangsa ini. Tapi tidak demikian dengan keluarganya yang menurut Paradise Papers masih menyimpan banyak aset di luar negeri.

Hari ini negara harus berjuang membangun infrastruktur di luar Jawa dengan susah payah dan ongkos mahal. Itupun dengan makian sebagian kalangan dan tudingan pencitraan. Satu sisi lain, tak boleh lagi hari ini memakai angkatan bersenjata secara besar-besaran memuluskan proyek, meski di beberapa lokasi dikabarkan ada pelibatan mereka lewat jalur yang lebih halus.

Lantas apakah Jawa menjadi lebih baik juga. Faktanya tidak demikian. Benar bahwa infrastruktur sudah memadai, tapi apakah kita sadar atau abai. Jawa yang dulu dikenal hijau dengan semboyan gemah ripah loh jinawi itu mulai berubah warna. Pembangunan memang dinikmati tetapi yang paling menikmati akhirnya adalah pengusaha dan penguasa lawas. Pusat pertanian dan hutan mulai digerus pembangunan dan faktanya kemiskinan juga masih banyak ditemukan di pulau ini. Kepadatan penduduk akibat gula pembangunan yang terlalu banyak di Jawa membuatnya mengalami diabetes sosial.

Papua lebih menyedihkan lagi dibanding daerah lainnya. Setelah beberapa tahun Jokowi memimpin dan sempat disapa sepenuh hati oleh Gus Dur, Papua mungkin terlihat lebih baik saat ini dari luar. Pembangunan dan perhatian mulai ditingkatkan oleh pemerintah. Pendekatan ekonomi coba dipakai menyembuhkan luka panjang masyarakat Papua.

Menjadi pertanyaan, apa iya tekanan puluhan tahun dengan dampak ketertinggalan masif di Papua bisa selesai hanya dengan membangun infrastruktur dalam hitungan tahun? Masa dikekang selama 3 dekade, diganti 3 tahun Jokowi tak akan pernah cukup. Butuh upaya lebih besar dan panjang berdialog dengan masyarakat Papua dan tentu saja selama masa itu, pendekatan bersenjata yang dipakai dulu mesti ditinggalkan.

Kalau hari ini ada perang fisik dan perang opini antara TNI/POLRI dan yang disebut KKB untuk memperhalus kata OPM, saya akan coba tak membela keduanya dulu. Saya mendoakan keduanya tak terjebak dalam desingan peluru, antara hidup dan mati. Sebab mereka adalah sesama saudara kita sebagai manusia, yang ingin melihat keluarga serta bangsanya damai sejahtera. Meski mungkin caranya berbeda.

Apakah dengan demikian saya tak memiliki nasionalisme? Tidak. Sebaliknya nasionalisme saya yang didasarkan pada Pancasila, mengajar saya untuk berkemanusiaan dan adil. Menjaga persatuan dan menyelesaikan masalah lewat musyawarah. Dan diatas segalanya membuktikan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu bukan yang menginginkan kita saling memerangi dengan senjata. Diatas nasionalisme mestinya kita bersandar pada kemanusiaan, humanisme.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline