[caption caption=" Gereja Katolik di Aceh Tenggara yang dikelilingi sekolah Katolik dari Taman Kanak-Kanak hingga SMA"][/caption] Bagi engkau sekalian yang berdoa meminta Tsunami di Aceh pasca pembakaran gereja, semoga dicerahkanlah hatimu sekalian. Sebab sebagaimana mereka yang membakar gereja, demikian pun kamu tidak memahami misteri Tuhan sekalipun kamu rajin ke gereja.
Adalah pengetahuan mula-mula. Tak cukup pengetahuan di sekolah tinggal kelas. Tak cukup pengetahuan berenang lalu tenggelam. Tak cukup pengetahuan agama lalu malah berubah menjadi Tuhan yang seakan kamu bisa melakukan apa saja. Begitu luasnya Aceh, sehingga kamu mungkin tidak pernah mendengar kabar baik yang tersembunyi disana. Media membuatmu menjadi rajin update status, tapi tak mengapa tak membuatmu update pengetahuan. Jadi bagimu yang belum mengenal lebih jauh tentang Aceh, termasuk aku sendiri, bijaklah dalam menilai.
Aku bertanya padamu, adakah kamu mengenal ada apa saja di Aceh selain soal Islam yang kadang kamu pandang dengan salah paham? Tahukah kamu membedakan etnis Aceh dan wilayah Aceh? Pernahkah kamu mengenali kata Alas, misalnya? Sudahkah kamu tahu, jangankan atas nama embel-embel agama. Bahkan di Aceh sebagaimana mungkin di Kotamu, perbedaan itu nyata. Faktanya sekalipun sama KTP tertulis Islam, etnis Aceh di pusat provinsi banyak yang memandang etnis Alas yang tak kalah identitas serta kebudayaan Islamnya sebagai bukan Aceh. Padahal etnis Alas jelas tumbuh dan hidup turun temurun di Lembah Alas nan indah di wilayah yang kini kau kenali sebagai wilayah Aceh. Secara etnis pun barangkali mereka akan sulit menjadi pemimpin tertinggi di provinsi ujung barat Indonesia itu. Di Lembah Alas itu pula yang disebut Aceh Tenggara kami hidup. Jauh dari generasi moyangku kami sudah berada disana. Bersama beberapa etnis lain kami hidup bersama, hidup bertetangga sebagai saudara. Hidup dalam ikatan kebudayaan yang membuat orang tidak lupa pada akarnya kemanusiaan.
[caption caption="Bersama Pengurus OSIS di SMU Katolik, Aceh Tenggara"] [/caption] Mungkin kamu tidak akan percaya bila kusebut bahkan ketika kamu masuk ke Aceh Tenggara akan sejuk terasa jiwamu. Kecuali kamu yang anti perbedaan. Tak sampai 10 menit begitu kamu memasuki wilayah Aceh Tengggara yang disambut dengan ucapan selamat datang dan juga mesjid beserta pesantren. Tak sampai 10 menit sesudahnya kamu bisa melihat salib menjulang nyaris di tiap 10 km sepanjang jalan.
Ya diperkirakan selain selain masjid berjumlah sekitar 175 unit, mushala 203 unit, dan surau 45 unit. Kamu akan takjub melihat salib-salib gereja sepanjang jalan kamu menuju pusat kota Aceh Tenggara di Kutacane. Setidaknya ada sekitar 1 Gereja Katolik induk dengan sekitar 8 stasi/tidak termasuk stasi di wilayah Sumatera Utara. Selain gereja katolik, ada ratusan gereja Kristen Protestan yang menyebar. Tak dapat dipungkiri, bahwa memang ada yang belum terbiasa dengan keragaman itu bahkan di tanah kami sendiri. Tapi faktanya sampai hari ini kami hidup dalam damai dan cukup saling memahami posisi masing-masing. Seingat saya sebelum merantau ke Jawa, adalah lumrah kalau para pejabat datang dalam peresmian gereja yang memang isinya kebanyakan adalah warga dengan etnis Tapanuli, Karo, Simalungun, Pakpak dan sebagian Jawa. Tak jarang mereka juga menyumbang secara pribadi sebagai bagian dari adab kebiasaan bermasyarakat.
Sebagian lain memang ada yang takut, galau dan risau. Kadang ada yang menuding kristenisasi meski faktanya akan sulit bagimu menemukan penduduk selain etnis yang kusebut masuk dalam gereja. Dengan kata lain sekian puluh tahun kebersamaan adalah jarang melihat etnis asli memeluk kristen. Ibarat jarangnya umat kristen NTT akan berpindah menjadi Islam. Soal agama, jangan ragu dengan militansi umat Islam di Aceh Tenggara. Bisa dibilang bahkan lebih sering dari Kristen masuk Islam karena alasan pernikahan dan budaya patriarki. Tak perlu aku berdusta, sebab demikianlah aku melihatnya dalam wajah keluarga.
[caption caption="Saat jadi pengibar bendara perdana untuk kecamatan baru, Babul Makmur. Bersama pelajar dari sekolah lain. Baik Islam, Katolik maupun Kristen. Baik Alas, Tapanuli, Karo, Gayo dan lainnya"]
[/caption] Soal kehidupan masyarakat, khusus di daerah yang membaur masyarakatnya, akan terasa lebih unik. Misal saat perayaan hari besar keagamaan seperti Idul Fitri. Adalah lumrah bila yang kristen datang bersilaturahmi. Seperti biasa kami lakukan ke rumah nenek dan beberapa saudara yang muslim. Sebaliknya pada saat tahun baru, akan lumrah dilihat yang muslim bersilaturahmi datang ke tempat kami yang kristen.
Saya masih ingat kalau sudah tahun baru, paman yang jadi tetangga kami diminta untuk menyembelih ayam. Sesekali kuamati dia berkomat-kamit mengucap bismilah. Kelak aku paham kenapa setiap kali ada acara yang bakal mendatangkan tetangga, kami harus meminta si paman yang menyembelih ayam. Soal kenapa tahun baru dan bukan justeru Natal, itulah salah satu keunikannya.
Nah, meski bagi sebagian pemimpin Aceh, etnis Alas sering disebut Batak karena umumnya mereka ini memang memiliki marga sebagaimana umumnya etnis Batak. Tetapi jangan bicara soal militansi mereka pada agama dan kebudayaannya yang semakin berpadu secara islami. Sehingga akan aneh justeru ada yang takut pada kristen hanya karena tidak terbiasa berbeda. Tak yakin bahwa pada akhirnya pertumbuhan agama di Aceh Tenggara itu hanyalah karena soal natalitas alias faktor keturunan. Bukan faktor konversi atau yang sering disebut Kristenisasi. Disini satu hal, bahkan sesama etnis asli Aceh pun saling berusaha mendominasi, tak jarang mendiskriminasi. Tapi diluar seluruh dinamika sosial masyarakat di Aceh Tenggara, bisa dikatakan lembah alas nan indah ini adalah Madinah yang sesungguhnya. Bila Madinah kerap dijadikan contoh bagaimana mayoritas Islam hidup dengan tenang berdampingan dengan minoritas. Terlebih lagi sepemahamanku, perbedaan mayor dan minor di tanah kelahiranku menyatu dalam semangat Pancasila. Jadi bisa kusebut, Aceh Tenggara adalah wajah Indonesia di Bumi Serambi Mekkah.
[caption caption="Gereja HKBP salah satu gereja terbesar dan tersebar di Aceh Tenggara untuk etnis batak"] [/caption] Jadi sungguh janganlah karena media kerap menampilkan wajah Aceh yang dominan, engkau tidak mau meningkatkan pengetahuan. Tak mau melihat wajah damai dan wajah yang lebih bersahabat di sisi tengggara Aceh. Sekalipun harus diakui tak mudah beranjak dan berkeliling ke tempat kami dibandingka ke kota lain di wilayah Aceh. Sebab selain posisi kami yang secara infrastruktur lebih dekat ke Tanah Karo, Sumatera Utara.
Aceh Tenggara sendiri memang sering menjadi korban ketimpangan dari kebijakan pembangunan yang ditetapkan oleh elit di tingkat provinsi. Tapi jangan khawatir, pun demikian bila anda akan berkunjung kesana tentu akan ada pengalaman istimewa. Selain membuktikan kata-kata saya, anda akan disuguhi kecantikan alam di Taman Nasional Gunung Leuser yang menjanjikan pengalaman seru juga bagi anda.
Jadi kembali, soal ketidakadilan itu pertama-tama adalah masalah pikiran kekuasaan. Bukan masalah agama. Ketidakadilan itu juga ditentukan oleh pengalaman hidup dalam keragaman. Ditentukan oleh seberapa jauh wawasan serta pendidikan. Sehingga ketika karena gereja dibakar lalu ada sebagian pihak yang mendiskreditkan Islam apalagi berdoa aneh minta bencana, saya malah berpikir. Berpikir bahwa cara beragama kita baik yang muslim ataupun kristen ini sendiri, kadang justeru bisa jadi adalah bencana. Karena meskipun kita percaya agama kita yang terbaik dan cinta damai, tapi kok masih bisa membakar gereja. Kok sempat-sempatnya pula berdoa pada Tuhan dan meminta celana... Eh bencana.