[caption id="attachment_362052" align="alignleft" width="452" caption="Umat Katolik Betawi di Gereja Kampung Sawah"][/caption]
Ketika wawasan sebatas ukuran kubur, maka urusan busana yang sudah dipakai dari generasi ke generasi warga Betawi pengikut Katolik ini pun dipersoalkan oleh netizen yang kurang waras. (baca: Sumber) Saya ingat pengalaman sekitar 9 tahun lalu ke Gereja Servatius yang memang demikianlah adanya, sebab umatnya banyak yang merupakan penduduk asli Betawi. Saya kesana menjelang Natal bersama teman kuliah yang berasal dari situ. Saya mengenal sedikit tentang gereja ini mengingat saat itu saya tidak bisa pulang kampung merayakan Natalan di Aceh karena urusan ongkos.
Di dekat gereja Katolik ini juga berdiri Mesjid dan keduanya bagi masyarakat setempat dijadikan simbol kerukunan umat beragama di daerah tersebut. Budaya dijadikan sebagai jembatan persaudaraan antar kedua umat berbeda agama sebab akar kebudayaan mereka memang satu, Betawi.
Bahkan bila hendak ditelusuri sejarahnya, maka apa sebenarnya yang disebut dengan Busana Muslim? Kalau agama dan kebudayaan disatukan sebagai ukuran religiusitas, maka masyarakat yang wawasannya masih sebatas kubur, baiknya belajar banyak. Belajar banyak dari Timur Tengah dan sejarah kekristenan awal, serta belajar juga soal Busana Religi umat Kristen. Melakukan perbandingan dengan yang lain sebagai curah pandangan.
Dalam tradisi umat Katolik itu, ada sikap penghormatan terhadap budaya lokal yang dipandang tidak merusak akidah umat. Beberapa tradisi yang bahkan dari kebiasaan golongan bidah pun sepemahaman saya, ada yang diterima dan digunakan lewat semangat menguduskan dan memberi cara pandang baru. Dalam hal ini tidak pernah ada klaim dari Gereja Katolik terhadap kebudayaan itu, sebab kebudayaan itu adalah milik masyarakat lokal dan milik mereka yang mencintai kebudayaan tersebut. Beberapa pakaian, simbol dan ritual gereja Katolik bahkan diadopsi beberapa golongan Kristen Protestan tetapi hal tersebut tidak pernah diperdebatkan sejauh itu tidak menyangkut pelecehan atas simbol dan yang disimbolkan itu sendiri.
Jadi, kalau melihat gereja Katolik di berbagai negara, atau tak perlu jauh, lihatlah di setiap kota. Barangkali anda akan menemukan sekian ragam perbedaan artifisial. Semisal busana umatnya, arsitektur gerejanya yang tak jarang mirip rumah adat seperti Gereja Katolik di Tanah Karo yang menyerupai Rumah Adat Karo, ornamen, lagu dan doa dalam bahasa lokal, serta yang lainnya. Selain itu bahkan simbol patung-patungnya.pun berbeda. Misal di Papua, gambaran mereka tentang Yesus bisa saja bukan gondrong dan berjenggot melainkan gagah berkulit hitam dan keriting. Semua ini tidak jadi soal sebab semua sebatas sarana mengenal Allah, bukan Allah itu sendiri.
Demikian pun dalam hal umat di Gereja Katolik St. Servatius Kampung Sawah Bekasi ini, mereka sebatas merayakan ibadah dengan tetap memelihara warisan budaya leluhurnya. Sama seperti umat Katolik di Bali yang menggunakan pakaian tradisional mereka untuk beribadah dan umat Hindu disana tidak pernah bingung dengan hal tersebut. Tidak pernah mengklaimnya sebagai milik Agama Hindu, namun sebaliknya gereja Katolik pun tidak mengklaim sebagai milikinya dan mengakui lokalitas anggotanya. Jadi bila kebudayaan pun diberi agama, barangkali kelak perpecahan dunia pun akan semakin dekat sebab kebudayaan tak lagi mampu menjadi perekat.
Mungkin Prof Quraish Shihab yang juga turut difitnah itu, benar adanya ketika bicara soal ucapan Selamat Natal sebelumnya. Perdebatan konyol soal hal-hal yang masih di permukaan seperti ucapan Natal dan busana ini barangkali hanya ada di Indonesia. Ini merupakan fakta bahwa masih ada sebagian umat Muslim yang ketakutan akan terganggu akidahnya. Dan... menurut hemat saya, mereka yang ketakutan justeru adalah orang yang ragu-ragu dan golongan demikianlah menurut Kanjeng Nabi perlu ditelisik. Jadi mestinya pendidikan akidah ini yang mesti dikuatkan sebagai karakter. Bukan dicekcoki dengan kebencian pada sesuatu yang ada di luar dirinya.
Dalam pengalaman setiap agama, selalu ada saja yang demikian. Namun syukurlah penyakit jenis ini sudah lewat fasenya di salah satu agama awal. Fasenya sudah melihat peradaban dan menggunakan akal sehat untuk melihat pesan kenabian dalam konteks zaman. Kalau ada tantangan dari luar, justeru kritik dan perbaikan di lakukan dari dalam. Bukan malah mengecam yang dari luar, apalagi yang memang jelas-jelas bukan mengancam.
Maka pesan untuk menjaga Indonesia dari seruan kebencian yang mengatasnamakan agama mesti dimulai dari keluarga Indonesia. Tulisan ini boleh dianggap sebagai propaganda KAFIR, tetapi fakta sejarah membenarkan bahwa sejarah kebesaran intelektual suatu agama dimulai dari pencerahan akal sehat dan penghormatan terhadap nurani kemanusiaan.
Anda boleh menganggap remeh hal ini, tapi ini adalah repetisi. Silahkan hitung sejak kapan kita merdeka dan mengapa sampai saat ini kemerdekaan berpikir dan berkreasi bagi bangsa ini masih sebatas ilusi. Banyak kita yang mampu berpikir dan berkreasi hanya untuk menyerang sesama sendiri. Sementara mereka yang mengalami kemerdekaan berpikir dan berprestasi dari Indonesia malah tak mampu bertahan di Indonesia dan memilih hidup di luar negeri. Tanya kenapa?