Lihat ke Halaman Asli

Thomas Sembiring

Blogger KereAktif

Rabu Abu dan Tradisi Puasa Umat Katolik

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"you are dust, and to dust you shall return” – Genesis

Puasa merupakan sebuah ajang olah rohani yang hidup dalam tradisi kebudayaan masyarakat dunia. Berbagai agama memiliki tradisinya sendiri juga mulai dari Yahudi hingga Hindu yang menekankan pada askestisme serta kemampuan menahan nafsu duniawi. Puasa menjadi sebuah proses latihan rohani yang menantang sekaligus mengajarkan manusia untuk menimba kesadaran yang lebih atau magis.

Dalam tradisi Gereja Katolik, Puasa berlangsung selama 40 hari dan dimaknai sebagai sebuah momen penting untuk pertobatan. Tradisi ini merujuk pada teladan yang dibagikan oleh tokoh-tokoh dari bagian perjanjian lama Kitab Suci yang diteladani oleh umat Kristen. Musa misalnya, melakukan puasa selama 40 hari sebelum ia menerima Sepuluh Perintah Allah yang termashyur itu. Demikian pun Nabi Elia bahkan Yesus sendiri pun menjalani puasa selama 40 Hari 40 Malam di Padang Gurun.

Berdasarkan tradisi baik berpuasa serta perhitungan angka 40 hari yang menyiratkan lamanya masa permenungan dan tobat, maka Gereja Katolik menyusun sendiri rangkaiannya secara liturgis. Secara keseluruhan umat Katolik berpuasa selama 6 pekan. Mengingat hari Minggu dipandang sebagai hari peringatan Kebangkitan maka hari ini tidak dianggap termasuk dalam masa Puasa. Dengan demikian bila dihitung mundur dari Hari Minggu Perayaan Paskah dengan mengurangi jumlah hari Minggu yang ada, maka akan ditemukan permulaan puasa di Hari Rabu.

Lalu, mengapa disebut Rabu Abu?

Mengingat bahwa tradisi berpuasa dalam kekatolikan menyangkut semangat dan laku tobat, maka awal puasa pun berefleksi dari kisah pertobatan Niniwe. Kisah tentang bagaimana Yunus dengan segala kegundahan sekaligus ketaatannya untuk membawa pesan pertobatan ke kota yang diberikan padanya untuk didatangi. Atas usaha Yunus di abad ke 5, kota Niniwe pun memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung sebagai sebuah ungkapan penyesalan akan dosa-dosa mereka pada Allah. Bahkan raja pun turut menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu untuk menunjukkan sesalnya.

Penggunaan abu sebagai salah satu simbol dalam liturgi Katolik memang banyak didasari pada makna abu dalam perjanjian lama. Abu menjadi lambang bagi mereka yang berkabung, lambang kefanaan dan juga tobat. Dalam kitab Ester misalnya, pada masa 485-464 SM, Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros untuk melakukan pembunuhan atas semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia. Demikian pun Ayub yang kisahnya ditulis sekitar abad 7 hingga 5 SM. Ia menyatakan ungkapan sesal pada Allah dengan duduk diatas debu.

Rabu Abu menjadi lebih dikenal secara khas setelah ritual tersebut dikembangkan secara liturgis. Menurut catatan yang ditemukan pada edisi awal Gregorian Sacramentary dan terbit di sekitar abad ke 8, pernah seorang Imam Anglo-Saxon berkotbah. Dalam kotbahnya di sekitar 1000, imam yang bernama Aelfric tersebut berujar:

“Kita membaca dalam kitab-kitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Sekarang, marilah kita melakukannya sedikit pada awal Masa Prapaskah kita, kita menaburkan abu di kepala kita sebagai tanda bahwa kita wajib menyesali dosa-dosa kita terutama selama Masa Prapaskah” SELENGKAPNYA

Selamat memasuki masa pra Paskah melalui hari Rabu Abu dengan semangat pertobatan kalbu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline