Lihat ke Halaman Asli

Pernyataan Sikap BEM KM Unand Mengenai RUU Pilkada

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pro dan kontra terhadap Pilkada langsung dan tidak langsung semakin menguat sebelum di sahkanya rancangan RUU Pilkada di DPR RI pada tanggal 25 September 2014. Perlu diketahui pilkada langsung ataupun tidak langsung kedua sistem ini telah dilaksankan dalam perjalanan pemilihan kepala daerah di negeri ini. Dalam kurun waktu reformasi sudah tiga kali mengubah hukum pemerintah daerah yaitu UU No 22 Tahun 1999 dimana DPRD mempunyai tugas dan wewenang untuk memilih gubernur /wakil gubernur, Bupati/wakil bupati. Wali kota/wakiwalikota serta memberhentikan gubernur / wakil gubernur, Bupati/ wakil bupati serta walikota/ wakil walikota. Karena dilihat dari sistem pilkada yag dilaksankan kurang aspiratif serta rawan money politik maka sistem pilkada diubah menjadi langsung sesuai dengan UU no 32 pasal 24 ayat 5 bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana yang dimaksud ayat 2 dan ayat 3 Dipilih Langsung oleh Rakyat di Daerah yang bersangkutan. Dan diperkuat dengan pasal 56 ayat I bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang diselenggarakan secara demokratis berdasarkan azas langung, umum bebas, rahasia jujur dan adil. Melihat secara saksama bahwa UU no 32 merupakan cikal bakal dari Pilkada langsung dimana tata cara pelaksanaanya mulai dari calon kepala daerah, lembaga pelaksana pemilihan kepala daerah sampai dengan pengawasan pelaksaan pemilu. Sementara posisi DPRD hanya meminta pertanggung jawaban KPUD sebagai lembaga pelaksana pilkada dijelaskan UU no 32 pasal 57 ayat 2. Selanjutnya untuk memberikan kebebasan bagi rakyat Indonesia yang tidak menjadi anggota partai (independen) untuk terlibat dalam pemilihan kepala daerah maka UU no 32 tahun 2004 diubah kembali dalam sistem pemilihan kepala daerah melalui UU no 12 tahun 2008.

Adanya RUU Pilkada yang akan menghilangkan peran rakyat (civil Society) dalam pentas demokrasi dalam menyalurkan aspirasinya mengindikasikan suatu kemunduran dari demokrasi yang sudah dibangun sepuluh tahun belakangan dimana posisi rakyat sangat strategis dalam menentukan pemimpinya. Adanya opini yang menyebutkan bahwa Pilkada langsung merupakan sistem syarat korupsi, anggaran besar, serta merebaknya money politik sehingga perlu dikembalikan ke pilkada tidak langsung melalui DPRD. Perlu diketahui bahwa Pilkada tidak langsung telah diberikan kesempatan selama 32 tahun dalam melakukan pemilihan kepala daerah namun dalam waktu yang panjang belum bisa memberikan kemajuan yang berarti bahkan korupsi dan nepotisme semakin marak dikalangan elit politik diparlemen dan rakyat yang jadi korban. Jika permasalahannya mengenai anggaran dalam pilkada , semua telah diatur oleh undang- undang. Sesuai UU no 32 pasal 112 tahun 2014 bahwa Biaya Kegiatan Pemilihan Kepala Daerah dan wakil kepala daerah dibebankan pada APBD.

Dilihat dari perjalan Pilkada langsung tentu ada positif dan negatifnya. Sepuluh tahun merupakan perjalan yang relatif singkat dari sistem demokrasi di republik ini. Indonesia yang luas terdiri dari latar belakang pemahaman serta pendidikan politik yang berbeda. Wajar saja dengan usia demokrasi yang masih muda terdapat prilaku negatif yang menyertai pelaksanannya. Namun tidak semua pilkada langsung melahirkan pemimpin yang objektif dari suara rakyat serta masih ada kekurangan yang menyertainya. Namun pilkada tidak langsung tidak juga akan memberikan jaminan untuk menghasilkan pemimpin yang pro rakyat mementingkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Tidak ada juga jaminan bahwa Pilkada tidak langsung akan terbebas dari money politik dan terhindar dari kepentingan politik (parpol).

Bagaimanapun sistem demokrasi pemilihan kepala daerah secara langsung sudah menjadi bahagian penting dalam melahirkan pemimpin daerah yang lahir dari rakyat karena suara rakyat yang menetukan. Mengenai sisi negatif dari pilkada langsung menjadi pembelajaran bagi demokrasi pekembangan demokrasi yang masih muda. Perlu diketahui bahwa tidak semua pemimpin daerah terlahir korupsi dari suara rakyat. Masih ada pemimpin daerah yang terlahir dari rakyat yang membwa kemajuaan dan prestasi gemilang. Maka yang lebih penting adalah bagaimana caranya menumbuhkan politik cerdas kepada masyrakat. Sehingga money politic yang merusak sistem demokrasi bisa ditanggulangi. Bersabar dengan pilkada langsung disertai pembenahan sistem agar rakyat bisa turut serta dalam demokrasi sesungguhnya.

Melihat RUU pilkada yang mengubah sistem pemilihan kepala daerah dari rakyat ke DPRD maka BEM KM Unand menyatakan sikap MENOLAK RUU Pilkada adapun. Adapun alasan yang menyertai penolakan ini diantaranya:


  1. RUU Pilkada telah berseberangan dengan demokrasi bangsa ini dimana rakyat tidak dilibatkan secara langsung dalam pemilihan kepala daerah.
  2. Pilkada tidak langsung sudah diberikan kesempatan selama 32 tahun namun belum bisa memberikan perubahan besar hanya memberikan keterpurukan melalui ditaktor terkurup yang meninggalkan hutang kepada negara.
  3. RUU Pilkada merupakan dampak dari kemunduran demokrasi serta merusak tatanan demokrasi yang telah dibangun dalam kurun waktu satu dekade dimana rakyat telah mulai terbiasa dengan Pilkada namun dipatahkan dengan Pilkada tidak langsung dimana suara rakyat tidak bisa disalurkan dan tidak mempunyai arti. Sehingga semboyan dari rakyat untuk rakyat dan kembali ke rakyat akan pupus.
  4. Tidak ada jaminan DPRD terhindar dari money politic serta kepentingan politik dalam Pilkada tidak langsung. Lebih dari itu akan mudahnya praktek suap serta tawar menawar kekuasaan dikalangan elit politik di DPRD.
  5. Tetap dilaksankan Pilkada Langsung dimana posisi strategis pemilihan kepala daerah berada ditangan rakyat namun sistem pelaksanaanya perlu dilakukan perbaikan untuk mencegah unsur negatif yang ada.


Melalui lima poin di atas maka BEM KM Unand meminta DPR RI sebagai wakil rakyat yang menampung aspirasi rakyat Indonesia untuk MEMBATALKAN RUU Pilkada karena tidak pro rakyat dan tidak memberikan ruang gerak kepada rakyat untuk menentukan pemimpin yang sesuai dengan hati nurani rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline