Lihat ke Halaman Asli

Selvyana Nandini

UIN Raden Mas Said Surakarta/Fakultas Syariah/HKI

Dinamika Pemikiran Ulama dalam Ranah Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Diperbarui: 12 Maret 2024   23:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

anyflip.com

Book Review
Judul : Dinamika Pemikiran Ulama dalam Ranah Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Penerbit : Lembaga Ladang Kata
Tahun Terbit : Desember 2015
Cetakan : Ke-1

Latar Belakang

Hukum Islam telah termanifestasikan sebagai produk hukum di berbagai negara di dunia salahsatunya adalah di Indonesia. Atho' Mudzar mengatakan
terdapat empat macam produk hukum Islam yang telah berkembang dan dikenal dalam sejarah hukum Islam, yaitu : kitab-kitab fikih, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan pengadilan, peraturan perundang-undangan di negeri-negeri muslim.'
Beberapa negara yang mengadopsi hukum Islam sebagai hukum yang berlaku, terdapat tiga kategori negara berdasarkan hukum keluarga yang diterapkan. Yaitu negara yang menerapkan hukum keluarga secara tradisional*, yang menerapkan hukum keluarga secara sekuler, dan negara yang menerapkan hukum keluarga yang direformasi.
Negara yang termasuk menerapkan hukum keluarga secara tradisional adalah Saudi Arabia, Yaman, Kuwait, Afganistan, Mali, Mauritania, Nigera, Sinegal, dan Somalia. Negara yang termasuk menerapkan hukum keluarga secara sekuler adalah Turki, Albania, Tanzania, minoritas penduduk muslim Philipina. Sedangkan negara yang menerapkan hukum keluarga yang direformasi adalah diterapkan pertama kali oleh Turki, Libanon, Tunisia, Mesir, Indonesia, Malaysia, Brunei*.
Termasuk hal yang menjadi persoalan' di dunia muslim mulai dari periode klasik hingga kontemporer saat ini, salah yaitu tentang bagaimana Islam sebagai agama yang bersifat universal dapat merespon berbagai macam persoalan yang menyangkut hukum keluarga (al-Ahwal al-Shakhsiyah) yang terdapat di banyak komunitas muslim yang tersebar di dunia."
Salah satu dari sekian banyak permasalahan tersebut yaitu mengenai batas minimal usia menikah yang diberlakukan di tiap negara yang berbeda-beda.
Meskipun pada dasarnya asas yang diterapkan dalam undang-undang perkawinan adalah asas ematangan dan kedewasaan calon mempelai, tetap saja undang-undang perkawinan di dunia Islam berbeda dalam menentukan ambang batas usia perkawinan.' Di tujuh belas negara undang-undang perkawinan memiliki batas umur terendah untuk kawin bagi laki-laki dan perempuan sebagai berikut.
Algeria 21 dan 18 tahun, Bangladesh 21 dan 18 tahun, Mesir 18 dan 16 tahun, Irak 18 dan 18 tahun, Yordania 16 dan 15 tahun Libann 18 dan 17 tahun, Libya 18 dan 16 tahun Malaysia 18 dan 16 tahu, Maroko 18 dan 15 tahun, Yaman Utara 15 dan 15 tahun, Pakistan 18 dan 16 tahun, Somalia 18 dan 18 tahun, Yaman Selatan 18 dan 16 tahun, Syria 18 dan 17 tahun, Tunisia 19 dan 17 tahun, dan Turki 17 dan 15 tahun.*
Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974% yang menyatakan perkawinan dapat dilakukan apabila pihak pria telah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 19 tahun tidak terlalu tinggi sebagaimana yang berlaku di Algeria atau terlalu rendah seperti yang diberlakukan di Yaman Utara.
Sedangkan di Malaysia yang merupakan negara federal sampai sekarang belum mempunyai undang-undang hukum keluarga yang berlaku secara nasional.' Akan tetapi dalam undang-undang negara bagian Malaysia secara keseluruhan menyebutkan bahwa batasan minimal usia perkawinan laki-laki adalah 18 tahun dan batasan minimal usia perkawinan perempuan adalah 16 tahun. Salah satunya yang tertuang pada Enakmen Negeri Sabah pada bagian II seksyen 8. Seksyen 8 menyatakan:
"Tiada suatu perkawinan boleh diakadnikahkan di bawah Akta ini jika lelaki itu berumur kurang daripada lapan belas tahun atau perempuan itu berumur kurang daripada enam belas tahun kecuali jika hakik syarie telah memberi kebenarannya secara tertulis dalam hal keadaan tertentu"
Berbeda lagi yang di berlakukan di Negara Brunei Darussalam, jika di Malaysia tiap negara bagian memiliki Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam yang berbeda-beda sesuai negara bagian, Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di Brunei Darussalam berbeda berdasarkan etnis dan agama. Undang-Undang Hukum Keluarga Islam (Islamic Family Law) tertuang pada Laws of Brunei Bab 217 tidak secara jelas memuat tentang batas minimal usia nikah, akan tetapi terdapat di beberapa Pasal yang mengatakan bahwa menghalang perkawian laki-laki yang telah mencapai usia 18 tahun dan perempuan yang telah mencapai 16 tahun merupakan suatu pelanggaran terhadap undang-undang dengan ancaman denda maksimal dua ribu dolar, penjara maksimal enam bulan atau keduanya.
Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam banyak memiliki kesamaan, ketiga negara tersebut juga dapat dikatakan berada dalam satu lingkup teritori.
Kesamaan ketiga negara tersebut ialah sama-sama merupakan negara dengan mayotitas penduduknya adalah beragama Islam, dengan mayoritas paham agama yang sama pula yaitu mazhab Syafi'i, dengan bahasa pemersatu yaitu Bahasa Melayu yang sejak dahulu sudah dipergunakan sebagai bahasa penghubung (lingua franca) di seluruh wilayah Asia Tenggara.
Berdasarkan data diatas, peneliti menyimpulkan bahwa ketiga Negara di atas yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, adalah negara yang dalam penerapan hukum keluarganya berbentuk hukum keluarga yang direformasi. Ketiga Negara tersebut memiliki kesamaan mengenai batas minimal usia menikah. Negara tersebut juga negara Islam walaupun Indonesia tidak mengakui sebagai negara muslim pada kenyataannya Indonesia merupakan negara yang berkependudukan muslim terbesar di dunia. Yang menjadi persoalan adalah mengapa ketiga negara tersebut menetapkan batas minimal usia menikah yang berbeda, padahal banyak kesamaan antara ketiga negara tersebut.
Oleh sebab itu hukum keluarga Islam di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam yang menganut penerapan berupa reformasi hukum Islam hendaknya dilaksanakan sejalan dengan apa yang menjadi tujuan hukum Islam itu sendiri yaitu memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, dan hendaknya didasarkan kepada maslahah yang sejalan dengan prinsip-prinsip magoshid al-shari'ah dan sesuai dengan tujuan-tujuan hukum dalam sistem hukum. 

Dengan harapan reformasi hukum keluarga Islam yang mendapat legislasi dari pihak yang berwenang ini dapat menciptakan ketentraman, kedamaian dalam kehidupan masyarakat Islam dan masyarakat luas pada umumnya. Berdasarkan problem akademik yang penulis sampaikan di atas, maka penulis menilai penting untuk meneliti peraturan batas usia perkawinan di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam dalam prespektif maslahah mursalah dan politik hukumnya.

Bab I
Hukum Islam merupakan salah satu ruang ekspresi pengamalan agama yang amat penting dalam kehidupan umat Islam. Hukum Islam di Indonesia termanifestasikan dalam bentuk produk hukum. Setidaknya ada empat produk pemikiran hukum Islam yang disebutkan Atho' Mudzar, telah berkembang dan dikenal dalam perjalanan sejarah Islam, yaitu: kitab-kitab fikih, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan pengadilan agama, dan peraturan perundangan di negeri-negeri Muslim. 

Masing-masing produk pemikiran ini memiliki ciri khas tersendiri. 3 Dalam konteks keindonesian, hukum Islam dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan yang diambil dari wahyu dan diformulasikan dalam empat produk pemikiran hukum yakni fikih, fatwa, keputusan poengadilan dan undang-undang yang dipedomani dan diberlakukan bagi umat Islam Indonesia.24 Dengan demikian, fatwa merupakan bahagian dari hukum Islam.
Sedangkan hukum keluarga adalah hukum yang mengatur perihal hubungan hukum internal anggota keluarga dalam keluarga tertentu yang berhubungan dengan ihwal kekeluargaan.25 Menurut Prof Subekti, "Hukum keluarga ialah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan isteri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.26
    Berdasarkan beberapa konsep teoritis yang dikemukakan maka dibutuhkan alur pikir dalam menyelesaikan permasalahan dalam studi ini. Sebagaimana diketahui, Cik Hasan Bisri telah merumuskan model kerangka berpikir dalam penelitian fatwa organisasi kemasyarakatan. Dengan mendasarkan pada tiga hasil penelitian tentang fatwa keagamaan, ia menyimpulkan bahwa ketiga penelitian tersebut berpangkal dari kerangka berpikir makro yang sama. 

Kerangka pikir tersebut terdiri atas sembilan komponen, yaitu: (1) sumber hukum (madir akm); (2) determinasi perubahan; (3) cara berpikir yang digunakan; (4) metode istinb al-akm; (5) produk pemikiran fuqaha sebagaimana tersebar dalam berbagai kitab fikih dan mencerminkan aliran pemikiran; (6) orientasi organisasi yang memiliki hirarki secara nasional, (7) perubahan sosial yang mencakup struktur sosial dan pola budaya masyarakat; (8) dan (9) produk fatwa organisasi yang menjadi fokus penelitian.83
   Dengan berdasarkan model kerangka fikir tersebut maka dalam tulisan ini akan diformulasikan alur fikir dalam penelitian ini sebagaimana berikut ini:

Skema di atas menunjukkan bahwa fatwa MUI mengenai hukum perkawinan menjadi fokus dengan menganalisis tidak hanya dari aspek sumber-sumber dan metodologi yang digunakan sebagaimana yang tampak pada prosedur penetapan fatwa dan madir akm yang digunakan komisi fatwa tetapi juga menelaah aspek pembaruan dari segi usul fikih dan fikihnya dengan berlandaskan pada teori perubahan hukum dari Ibnul Qayyim.

Bab II
A.Batas-batas Pembaruan Hukum
1. Pengertian Pembaruan
Istilah pembaruan sering dipadankan dengan kata modern. Kata ini banyak digunakan dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Banyak pengkaji Islam menggunakan istilah modern.1 Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.2 Kata modernisme dianggap mengandung arti negatif di samping positif, sehingga digunakan istilah pembaruan.3
2. Pembaruan dalam Islam
Pembaruan dalam Islam memiliki tujuan untuk menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama dengan ilmu pengetahuan dan falsafat modern. Dalam tradisi ilmu ushul fiqh, konsep pembaruan banyak dikaitkan pada persolan hukum yang bersifat qa' dan ann.5 Keqa'an sebuah nas dapat dilihat dari 2 aspek; Pertama, qa' al- ubt atau al-wurd Kedua, qa' al-dallah.
3.Pembaruan Hukum Islam
Menurut Abdul Mannan, pembaruan hukum Islam dapat diartikan sebagai upaya dan perbuatan melalui proses tertentu dengan penuh kesungguhan oleh pihak-pihak yang memiliki kompetensi dan otoritas dalam pengembangan hukum Islam (mujtahid), melalui cara-cara yang telah ditentukan berdasarkan kaidah-kaidah istinbat hukum, agar hukum Islam dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.13 Pentingnya melakukan pembaruan hukum dikarenakan perubahan sosial-budaya yang disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Kemajuan tersebut telah melahirkan permasalahan-permasalahan baru dalam hukum.
B.Pembaruan Hukum Keluarga Islam
Dilihat dari sejarahnya, awal mula pembaruan hukum kelurga baru tampak pada awal abad ke-20. Meskipun gerakan pembaruan dalam Islam secara luas sudah dimulai pada abad ke-14 Masehi di Kerajaan Usmani akan tetapi, gerakan ini baru terjadi dalam bidang kebudayaan dan kemiliteran, dan belum tersentuh dalam bidang hukum Islam\ karena pembaruan di kerajaan Usmani waktu itu tidak dipelopori oleh para ulama. 

Ide-ide pembaruan termasuk pembaruan hukum Islam semakin mempengaruhi dunia Islam termasuk Indonesia setelah munculnya tokoh-tokoh pembaru ternama seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida, dan lain-lain.26 Sejak muncul pembaru tersebut, pembaruan hukum Islam tidak hanya pada wilayah hukum-hukum muamalah tetapi juga dalam wilayah hukum lain termasuk hukum keluarga. Pembaruan dalam bidang hukum keluarga tampak pada beberapa negara Muslim. Dalam beberapa literatur, pembaruan ini lebih banyak dalam bentuk perundang-undangan.
C. Metode Pembaruan Hukum Keluarga
Tahir Mahmood menyebutkan bahwa pada dasarnya pembaruan hukum keluarga itu terdiri atas dua macam, yaitu:
1. Intra-doctrinal reform, yaitu reformasi hukum keluarga Islam yang dilakukan dengan menggabungkan pendapat dari beberapa mazhab atau mengambil pendapat lain selain dari mazhab utama yang dianut.
2. Extra-doctrinal reform, yaitu pembaruan hukum dengan cara memberikan penafsiran yang sama sekali baru terhadap nas yang ada.
D. Tujuan dan Ruang Lingkup Pembaruan Hukum Keluarga Islam
1. Tujuan Pembaruan Hukum Keluarga
Pertama, negara yang bertujuan untuk unifikasi hukum perkawinan. Usaha ini dilakukan karena ada sejumlah mazhab yang diikuti di suatu negara baik dari beberapa mazhab di kalangan kelompok Sunni maupun antara Sunni dan Syi'.
Kedua, usaha peningkatan status wanita. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline