Lihat ke Halaman Asli

Selvi Diana Meilinda

Policy Analist

Kutukan Kemunafikan Politik

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pagi ini (26/9) ketika seseorang bercerita tentang aktivitas Ia dan suaminya berkampanye dalam Pilkada di daerah kelahiran saya, ia mengeluhkan paslon rivalnya masih saja berkampanye di masa tenang saat ini. ‘berpura-pura’ sarapan nasi uduk bersama di pasar A atau ikut shalat berjamaah di Mesjid daerah B. belum lagi yel-yel “Ibu Bupati yang paling cantik ya Bu….. Bapak Bupati yang paling ganteng ya Pak….”, hingga akhirnya cerita pagi ini habis dan telepon ditutup dengan kesimpulan Kampanye adalah kemunafikan dalam politik. Setidaknya, begitu menurutnya.

Dessh.. sesungguhnya pengakuannya itu juga adalah kutukan kemunafikan politik.

Dipikiran saya, kenapa diusianya yang sekarang baru meraba kemunafikan dalam politik, dan sungguh saya mengasihi ia, turut terseret dalam kemunafikan politik karena tuntutan jalan hidup sang suami. Saya seperti menemukan kisah nyata dari buku seorang David Runciman yang berjudul Political hypocrisy: The mask of power, from Hobbes to Orwell and beyond atau Politik muka dua.

Dari buku tersebut, ada beberapa pelajaran penting yang bisa menjadi bahan renungan, bahwa sekuat apapun para politisi, akademisi, pengamat politik dan jurnalis politik melepaskan belenggu kemunafikan politik, mereka tidak akan bisa keluar, malahan menarik orang-orang disekitarnya karena semua usaha yag mereka lakukan untuk mendapatkan rute pelarian dari kemunafikan politik hanyalah suatu khayalan belaka.

Mereka yang mampu menjerat setiap argumentasi politik dengan baik terkadang menyerah dengan godaan-godaan pelarian khayal dari kemunafikan politik, mereka yang juga mampu meyakinkan akar rumput bahwa sistem kemunafikan dan anti kemunafikan politik adalah suatu hal berlainan yang memihak serta masuk akal adalah suatu bentuk penipuan diri sendiri.

Sadar atau pun tidak, politisi dan keluarganya terkunci di dalam masalah ini bersama-sama. Tidak ada solusi sederhana bagi masalah kemunafikan dalam dunia politik, karena ia bersifat menyebar dan kompleks, dan bahwa kesulitan-kesulitan yang sama akan berulang dalam tatanan yang berbeda-beda. Dalam realitasnya, seorang anak dalam sebuah keluarga yang 'berpolitik' akan sulit terpisah sama sekali dengan dunia dalam rumahnya. ketika orang tua lebih asyik menonton diskusi politik ketimbang infotainment, secara tidak langsung sedikit demi sedikit jiwa dan pikirannya terseret dalam hiruk pikuk politik dan kelak secara sadar ia pun ikut terkutuk.

Kutukan  politik kemunafikan yang terus berlangsung dengan segala pertukaran yang tidak pasti dan keberuntungan yang tidak bisa diprediksi menjadikan kita sulit memperbaiki ikatan emosional yang bertahan lama dalam kemunafikan politik.

Bagi mereka yang mengakui politik bisa sangat tulus adalah sebuah kepura-puraan atau memang belum meresapi filosofi politik, karena bentuk kemunafikan politik yang paling berbahaya adalah mengklaim telah melakukan politik tanpa kemunafikan.

Ah! dunia…

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline