Lihat ke Halaman Asli

Selvi Diana Meilinda

Policy Analist

Ini Masalah Ketahanan Pangan

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1342929662133883958

[caption id="attachment_201967" align="aligncenter" width="600" caption="Buruh angkut memindahkan sayuran yang telah ditimbang di sentra sayur Ketep, Kecamatan Sawangan, Magelang, Jawa Tengah, Rabu (15/2). Sayuran di Pasar Ketep ini dihasilkan dari pertanian di lereng Gunung Merapi dan Merbabu. Hasil pertanian didistribusikan ke sejumlah kota, antara lain Yogyakarta, Purworejo, Solo, dan Semarang./Admin (KOMPAS/Raditya Helabumi)"][/caption]

Saya greget dengan ribut-ribut soal kebijakan ketahanan pangan tiap menjelang puasa dan lebaran. Seolah Negara ini adalah seorang Ibu yang belum mampu memberi makan anak-anaknya (tapi emang iya sih!). sebenarnya apa saja masalah yang berjalin kelindan dengan ketahanan pangan? complicated!

Saya akui memang, memikirkan desain kebijakan ketahanan pangan ini jauh lebih rumit dari yang lainnya, karena permasalahannya bukan hanya urusan beras, minyak goreng, gula atau urusan antara pedagang, petani dan negara, tapi ini masalah perut semua tanpa pandang strata dan hal ini tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi pangan nasional, namun juga global.

Kompleksitas permasalahan secara global meliputi pertama, permintaan dan konsumsi pangan, dimana jumlah penduduk dunia terus bertambah terutama di Afrika dan Asia serta kompetisi pemanfaatan komoditas pangan antara food-feed-fuel.

Kedua, penyediaan dan produksi pangan yang banyak dipengaruhi oleh perubahan iklim global, ketidakseimbangan produksi dan stok pangan antar kawasan yaitu USA, Europe dan Africa, ketidakseimbangan penguasaan dan kemampuan menerapkan teknologi produksi dan pengolahan pangan antar kawasan serta degradasi kualitas lahan dan air lebih-lebih lagi kerusakan lingkungan.

Dan, ketiga, pengaruh pasar dan harga pangan dimana trend harga pangan yang terus meningkat, trend fluktuasi harga pangan yang lebih sering terjadi dan lebih volatile (bergejolak) dan yang lebih bahaya adalah pasar pangan internasional yang tidak menentu karena tiap negara cenderung mendahulukan ketahanan pangan domestiknya secara berlebihan.

Sementara itu, permasalahan pangan di dalam negeri tak kalah rumitnya. Pertama, mulai dari ketergantungan konsumsi beras dalam pola konsumsi pangan yang masih tinggi (konsumsi beras kita 139,15 kg/kapita/tahun). kedua,  laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi, ketiga, jumlah penduduk rawan pangan masih relative tinggi ,yakni +/- 13% dari total penduduk, keempat, kompetisi pemanfaatan dan degradasi sumber daya air yang semakin meningkat, belum lagi konversi lahan pertanian masih cukup tinggi (+/- 110.000 ha/ tahun) dan celakanya infrastruktur pertanian serta perdesaan pun kurang memadai.

Tidak hanya itu, beberapa daerah di Indonesia yang rawan bencana juga menjadi salah satu faktor sulitnya mengembangkan ketahanan pangan yang berkelanjutan.

Sebenarnya bukan tidak ada strategi untuk kebijakan ketahanan pangan, itu sudah ada! Ada yang namanya twin track strategy (strategi jalur ganda) dimana secara umum, selain memenuhi pangan orang miskin dengan memberi bantuan langsung pangan, pemerintah juga berusaha membangun ekonomi berbasis pertanian dan perdesaan.

Tapi, itulah masalahnya, ibarat kita sakit gigi tapi diberi racikan obat sakit mata. Kompleksitas masalahnya ada di kota, tapi buat jalur di desa. Sesukses-suksesnya pertanian di desa, jika komoditasnya kemudian ditimbun dan dimainkan oleh spekulan tanpa pengawasan yang ekstra dari pemerintah, ya akhirnya hanya bisa jadi centeng gudang. Spekulan bisa sukses memainkan harga karena memperhatikan aspek budaya terkait pola konsumsi masyarakat. Maka sebaiknya, yang dikendalikan bukan perkara lokalisasi, namun ada variabel yang seharusnya dicincang halus dalam kebijakan ketahanan pangan yaitu soal budaya.

Pangan adalah budaya, dalam menuntaskan hal ini pemerintah memang telah berusaha menggalakkan gerakan one day no rice, namun menurut saya pernyataannya kurang elegan, dengan  bilang “jangan makan gula dan beras kalau harganya tak mau naik” atau “jangan makan nasi”. Jadi jangan heran jika masyarakat malah mencibir bukan patuh.

Demikianlah sedikit gambaran tentang masalah-masalah dalam kebijakan ketahanan pangan. Semoga mencerahkan.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline