Lihat ke Halaman Asli

Selvi Diana Meilinda

Policy Analist

Dicap Kota Terkotor, Semua Kebakaran Jenggot

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa waktu yang lalu, Bandar Lampung mendapat ‘penghargaan’ sebagai kota terkotor se Indonesia. Saat membaca beritanya, tentu saja kecewa dan tak habis pikir karena dulu program ‘ayo bersih-bersih’ sempat membawa Bandar Lampung mendapatkan piala adipura, namun memang beda kepemimpinan walikota.

Tanpa sengaja saya pun membaca kekecewaan seorang birokrat perencana tata kota Bandar Lampung, di status facebooknya seperti ini “...gw protess...gw gak terima..masa dibilang Bandar Lampung salah satu kota besar terjorok...coba liat kenyataannya Bandar Lampung skr sdh lbh tertata, rapi, indah dan bersih..”. Saya lihat ada nama praktisi dan akademisi Lampung memberikan jempol dan komentarnya, yang intinya setali tiga uang dengan si penulis status.

Dari status itu, ternyata bukan hanya saya, rerata warga Bandar lampung khususnya dan Lampung pada umumnya tidak terima dengan penilaian Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) ini. Bahkan pada Jumat (8/6) ratusan warga Bandar Lampung berunjuk rasa di Kantor KLH, memprotes dan mendesak untuk mencabut predikat buruk tersebut. Hasilnya? Yah.. KLH akan mencabut dan meninjau ulang. Hmm… narasi evaluasi yang labil.

Saya sih memang tidak mau ngotot mengatakan bahwa Kota Bandar Lampung bersih, karena sudah cukup lama saya meninggalkan kota ini. Namun sedikit banyak saya pun percaya kalau Bandar Lampung memang lebih bersih, selain karena saya tau betapa idealisnya si pejabat penulis status tadi, saya rasa jika indikator evaluasi dari KLH adalah unsur air, udara, dan pengelolaan sampah serta 4 kali monitoring di Lapangan, secara bounded rationality saya yakin air, udara dan pengelolaan sampah Bandar Lampung masih lebih mendingan daripada Jakarta atau kota besar yang lebih semraut. Subjektif? Tentu saja subjektif karena ini intuitive decision making saya. Ini sah-sah saja selama pointer per pointer evaluasi bukan untuk konsumsi publik.

Lebih jauh, dalam konteks pemberitaan buruk ini, ada semacam ekses ruang politik walikota Bandar Lampung saat ini, Herman HN. Beliau memang bisa dikatakan cukup baru menjadi walikota Bandar Lampung, namun kini sudah terasa beberapa manuver politiknya untuk melaju ke Lampung 1 pada Pilgub Lampung tahun 2013 mendatang.

Mungkin saja, salah satu alasan sampai ada rombongan warga Bandar Lampung yang bersusah-susah unjuk rasa di Jakarta adalah karena ekses politik yang mengusik. Dan jangan lupa pula, hasil monitoring dan evaluasi bisa menjadi alat politik karena monev tak selamanya terbebas dari dualitas nilai.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline