Lihat ke Halaman Asli

Selvi Diana Meilinda

Policy Analist

Gara-Gara Kum

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Akhir pekan seperti ini, biasanya surga  bagi mahasiswa atau dosen yang masih tugas belajar untuk mengikuti berbagai seminar nasional/ internasional, sarasehan, symposium, bedah buku, diskusi publik dan lainnya.

Di padepokan tempat saya betapa ini misalnya, setiap hari sampai akhir pekan ada seminar atau symposium dari yang call paper, gratis sampai yang bayar dengan jumlah fantastis.

Akan tetapi sayang sungguh sayang, saya sering kali mendapati bursa ilmu ini hanya jadi lahan perburuan sertifikat. Saya tak ingin menunjuk hidung siapa pun sebenarnya, tapi karena teman-teman saya banyak dosen muda dari berbagai daerah yang masih membutuhkan angka kredit (kum) untuk sertifikasi dosen, terkadang dalam satu hari bisa mendapatkan 2-3 sertifikat seminar nasional.

Caranya, semua seminar mereka daftar, bayar, mengisi presensi, duduk sebentar lalu pergi registrasi ke seminar lainnya, begitulah seterusnya. Hingga sertifikat semua seminar dengan mudah didapatkan namun entah ilmunya.

Lain lagi yang dilakukan teman saya yang satu ini, sebut saja namanya Mas A. mas A ini juga seorang dosen yang memiliki istri bekerja di kejaksaan sebagai jaksa pidana khusus. Suatu hari kami bersama mengikuti sebuah seminar nasional sampai tuntas, dan sertifikat langsung dapat diambil di akhir acara (sore hari). Ketika sertifikat sudah bisa diambil, saya agak terharu karena mas A memegang 2 lembar sertifikat, saya pikir itu salah satunya milikku yang sekalian diambilkan. Ternyata bukan sodara-sodara!

Sertifikat yang dipegang oleh mas A itu adalah miliknya dan istrinya. Hah? Istrinya? Padahalkan istrinya tak ikut seminar ini.

Yap! Begitulah.. jadi sang istri pun turut didaftarkan, turut bayar, walaupun tak nampak bulu matanya di seminar nasional itu.

Saat saya tanya apakah istrinya juga butuh kum? Mas A menjawab bahwa di tempat istrinya bekerja, mengikuti seminar nasional itu lebih mendapat point tinggi ketimbang menyelesaikan sebuah kasus hukum yang memakan waktu lama dalam persidangan. Astaga naga… saya pun ‘takjub’! Dalam hati saya berujar, oh.. mudah sekali mendapatkan poin kalau begitu.

Dari fenomena ini lantas saya tertegun, apakah dampak-dampak program sertifikasi macam ini dulu tidak diramalkan analis kebijakannya? Korelasi mengikuti seminar-seminar level nasional/ internasional untuk reward para ilmuan memang sangat baik karena dengan mengikuti bursa ilmu semacam ini dapat membuka wacana baru demi ilmu pngetahuan. Namun jika banyak jalan menuju kum tanpa ilmu dan aktualisasi diri maka tujuannya terperangkap dalam indikator yang tidak tepat.

Yogyakarta, salam sertifikasi!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline