[caption id="attachment_125164" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Sore kemarin, tiba-tiba dapat sebuah sms yang cukup panjang dari seorang kawan.
“Ass. Vie, kamu nanti nulis/penelitian tentang kenaikan bahan pokok menjelang hari raya, ramadhan, Idul fitri serta natal. Soalnya kesel sama pemerintah. Masa gak hapal-hapal, bertahun tahun kudu naek. Jadi membentuk mainset pedagang kudu menaikkan bahan-bahan pokok.. :D “.
Ya, sms curhat atas kekesalannya terkait naiknya bahan-bahan pokok menjelang ramadhan kali ini. Lebih lanjut dia membeberkan bahwa pengeluarannya jadi bertambah banyak, telur naik, daging naik, tepung naik, gula juga ikut naik. Telur biasanya beli sebutir bisa Rp. 1000,- sekarang sebutir Rp. 1.500,-.Sementara penghasilannya tak kenal naik atau turun menjelang Ramadhan dan hari raya.
Tidak terlalu terkejut dengan sms tersebut, karena tiap tahun memang seperti itu, walaupun saya sendiri belum mengetahui serinci itu kenaikannya, karena yang berbelanja bukan saya tapi Ibu saya.
Lain halnya pagi ini, ketika ingin up date berita pagi dan sekedar melihat-lihat status FB teman-teman, banyak status FB yang mengeluhkan kenaikan harga, salah satunya dari seorang Ibu muda di Bandar Lampung
,
“ tolooong… telor sekilo 19rebuu…” bunyi statusnya.
Hmm.. semua pada menjerit. Lalu kita bisa berbuat apa?
Fenomena kenaikan harga sembako menjelang ramadhan dan hari raya sudah menjadi kebiasaan, seolah tak ada kebijakan nasional atau program dari kementrian terkait dengan hal ini. Lantas apa korelasinya antara ramadhan/ hari raya dengan sembako? Apakah ada pola perubahan konsumsi masyarakat, sehingga menjelang ramadhan/ hari raya permintaan menjadi tinggi? Ada pihak-pihak spekulan yang menimbun sembako? Atau karena pengaruh cuaca?
Bagi masyarakat, hanya bisa teriak lewat jejaring sosial, dan pemerintah hanya bisa menenangkan bahwa kenaikan itu wajar, asal jangan melebihi 25% dari harga biasanya. Semua hal yang telah biasa, dianggap bukan kejadian luar biasa.
Sebaiknya ada satu lembaga khusus yang menangani masalah sembako ini, agar pemerintah tidak saling lepas tanggung jawab, karena penyebab kenaikan sembako bukan pula semata salah kementerian perdagangan, tapi semua pihak. Jika masyarakat jadi konsumtif saat ramadhan dan hari raya, artinya masih terbuka lebar peluang para pendakwah untuk meluruskan makna ramadhan dan hari raya secara hakiki. Jika banyaknya spekulan yang menimbun sembako, maka ini juga kesempatan untuk para ekonom dan para ahli marketing untuk mengatur sistem pemasaran yang baik, dan jika ini pengaruh cuaca maka tantangan bagi insinyur-insinyur pertanian untuk merekayasa bibit unggul yang tahan musim pancaroba.
Terkait pada lembaga pemerintah, kalau dulu menurut Keppres RI No 50 tahun 1995 Bulog ditugaskan mengendalikan harga dan mengelola persediaan beras, gula, tepung terigu, kedelai, pakan, dan bahan pangan lainnya.Namun, melalui Keppres No.45 tahun 1997 tugas Bulog kemudian dipersempit menjadi hanya mengendalikan harga dan mengelola persediaan beras dan gula. Kemudian, mulai Januari 1998 Bulog hanya ditugaskan mengelola beras.
Mengingat semakin kompleksnya masalah sembako ini, maka tidak ada salahnya untuk meninjau kembali Keppres dan memberdayakan perum bulog untuk mengendalikan sembako.
Semoga ada kebijakan yang tepat untuk masalah ini.
Lampung, 26 Juli 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H