Salah satu pepatah paling populer paling sederhana yang pernah kita dengar mungkin adalah "senyum adalah ibadah". Kalau kita menengok sebentar ke KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Senyum/se*nyum/(n) memiliki arti: gerak tawa ekspresif yang tidak bersuara untuk menunjukkan rasa senang, gembira, suka, dan sebagainya dengan mengembangkan bibir sedikit. Senyum pun harusnya jadi pekerjaan paling mudah di dunia, effort yang dibutuhkan sedikit, gak menghabiskan banyak tenaga, apalagi uang. Tapi kalau lagi bad mood, mentally drained atau physically exhausted masih bisakah kita tersenyum?
Minggu lalu saya berada dalam sebuah perjalanan yang bisa membuat sebagian orang geleng-geleng kepala, terheran-heran atau ekspresi terkejut lainnya, pendakian Gunung Semeru, puncak tertinggi di Pulau Jawa. Ya bagaimana tidak seperti itu, mereka hanya tidak menyangka saja saya "mau" melakukannya, dengan segala rintangan dan hambatan yang mungkin terbayang. Tapi bukan itu poin utamanya saat ini, dan mari kembali kepada senyum termanis masing-masing dari kalian (*lalu ambil kaca, untuk mematut diri).
Tulisan ini dibuat saat saya masih berkulit hitam dengan gusi bengkak, di kantor, di sela-sela menunggu janjian dengan narasumber sampai akhirnya Sang Narasumber datang, dan sempat terputus kelanjutannya. Lalu kenapa mendadak murah senyum, Ci? Muncul ide ini di akhir jalur pendakian saya, menuju basecamp awal pendakian di Ranu Pane.
Tuh kan idenya bener-bener muncul, saat saya sedang sendiri. Anyway, sepanjang jalur turun pendakian melewati mereka yang berpapasan dan baru mulai mendaki, saya teringat saat saya juga memulai pendakian. Kejadian yang serupa tapi tak sama terjadi. Mereka yang berpapasan turun, dan melewati saya memberikan kata-kata penyemangat supaya saya bisa sampai di atas.
Well.... Kebayang gak saat lagi capek luar biasa karena melewati jalur pendakian, napas udah pendek-pendek, badan keringetan, diajak ngobrol singkat seperti basa-basi, plus disapa dengan senyuman nan (mungkin) manis dari pendaki lain. Seharunya ada pepatah juga "jangan pernah ngajak orang lagi ngos-ngosan itu ngobrol".
Tapi refleks saat itu senyum balik, sambil bilang "terima kasih ya mas atau mbak", plus pertanyaan yang sebenarnya gak membutuhkan jawaban, seperti masih jauh gak sih sebenernya ke atas? Senyum berbalas senyum, yang semangat karena tahu perjalanannya mau berakhir memberikan senyum girang dibalas senyum meringis.
Tipikal seperti saya yang kadang malas berbasa-basi apalagi saat sedang ngos-ngosan, mendadak senyum, mencoba membalas sapa setiap mereka yang memberikan semangat. Aahhhh, mereka gak tahu apa napas tinggal tarikan pendek. Lalu hal sebaliknya terjadi, saya yang begitu girang karena perjalanan tinggal "sekadar" menuruni gunung, mencoba menyapa mereka-mereka yang mungkin baru saja memulai perjalanan. Mereka yang memanggul beban berat, dan beberapa di antaranya membawa carrier 90 liter (luaaar biasa) dengan muka masam (dan pasti capek), membalas dengan senyum setiap sapaan semangat yang ditujukan kepada mereka. Percaya gak percaya, buat saya itu ampuh sebagai dopping melanjutkan perjalanan.
Tidak ada senyum yang tidak berbalas, tua atau muda, menarik atau tidak menarik, perempuan maupun laki-laki, masih bersih atau sudah berlumuran debu gunung semeru, porter atau pengunjung atau pedagang makanan di setiap pos, semua saling berbalas senyum. Mencoba menarik kesimpulan yang masuk akal, mengapa hal demikian bisa terjadi? IMSO (in my sotoy opinion), semua karena kami berada di alam bebas di mana mengandalkan diri sendiri adalah hal yang paling egois yang bisa kita lakukan. Sedangkan berbagi (mulai dari senyum sebagai bentuk yang paling kecil) adalah keadaan paling mudah yang bisa kita lakukan.
Sudahkah kamu tersenyum hari ini? Karena apakah kamu tersenyum hari ini?
PS: semua foto diambil saat pendakian turun kembali ke Ranu Pane, dan terlebih dahulu meminta izin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H