Lihat ke Halaman Asli

What's so scary about (soon) being 30?

Diperbarui: 1 Oktober 2016   22:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Entah dimana saya membaca sebuah tulisan yang menyebutkan, apabila bertemu wanita hindari 2 pertanyaan berikut. Pertama, jangan bertanya tentang berapa umurnya, dan jangan menyinggung juga pertanyaan tentang berat badannya. Mungkin pernyataan itu ada benarnya,  lantaran beberapa kawan wanita saya sedikit segan menyinggung kedua hal tersebut, di tengah kelompok atau lingkungan baru. Dahulu, saya merasa tidak ada masalah dengan kedua pernyataan tersebut. Well, hanya semakin malas saja saat kedua hal tersebut menjadi awalan topic sebuah pembicaraan (saya sendiri tidak pernah melakukannya), yang ujung-ujungnya mengarah kepada pertanyaan lain, bukan karena keingintahuan belaka, namun bermaksud membandingkan suatu keadaan dengan keadaan lainnya. Such as, “anak gw aja udah 2, seumuran sama loe, kapan lu nyusul?, or “jangan kebanyakan main, gak inget umur?”, or “inget udah tua, pikirin tuh pasangan”, or “gak mau punya anak di usia muda?”, dan pertanyaan lain sejenis dan serupa (dan sebodoh) itu.

What am I doing after somebody that doesn’t live in my shoe give me those statements? Well, you’re guys being on my list, my not so-close-friend-that-will-not-get-anything-from-me-but-respect. Respect in here I mean, seriously? No, they will not going anywhere with me. Sejak kapan segala urusan terkait anak, pernikahan, cara menjalani hidup dengan bersenang-senang, pilihan karir, apa yang seharusnya dijalani seseorang di rentang usia tertentu, dan seterusnya menjadi urusan mereka yang mungkin sebenarnya tidak bahagia. Tidak bahagia sehingga akhirnya banyak mencampuri urusan orang lain, dan merasa berhak mengatakan apa yang seharusnya dilakukan. What the hell on earth, there’s such people like that? Tentu hal ini berbeda saat pembicaraan dilakukan dengan teman-teman yang memang dekat. Saya bukan anti pernikahan, memiliki keluarga, dan memiliki anak. Mereka yang mengenal saya, tahu betapa saya juga menantikan hal tersebut.

Lalu saya berujar begini kepada seorang sahabat dekat, my partner in crime, “I’m going thirty, can you imagine that?”. Bukan yang pertama juga saya bercerita kepada beberapa orang kawan, tentang keinginan menuju usia yang dianggap baru. Setelah banyak sekali petualangan yang saya lakukan dalam hidup, melewati ups and downs, halang rintang, dan tidak sedikit menjalani hidup dengan tertata maupun sembarangan. Ada 1 jawaban yang baru pertama kali saya dengar, saat mengungkapkan betapa tidak sabarnya saya menantikan jenjang usia baru. Yup, November mendatang saya menjelma menjadi manusia yang akan diberikan cap “dirty-thirty”, “slutty-thirty”, dan sebagainya oleh teman-teman terkasih saya. Hahaha. Semakin tidak sabar kamu menanti usiamu yang baru, seperti terasa semakin biasa sepertinya hal itu akan terlewati. Apa yang akan jadi baru? Mungkin tidak ada yang terlihat. Hanya pikiranmu yang semakin bertumbuh, semakin berkembang, dan semoga itu menjadi lebih baik.

“Kamu beruntung (apabila) bisa mencapai 30, lalu melewatinya, dan kembali menjalani hidup. Lantaran tidak banyak mereka yang demikian”, ujar my partner in crime saat itu. Sedikit banyak pernyataan itu merubah pandangan saya tentang menjadi 30. What’s so scary about being 30? Well, memang tidak mudah. Saya juga mempunyai keinginan menjalani banyak hal baru, menjalani dunia pekerjaan berbeda, dan membangun kehidupan berumah tangga, menjadi sejumlah hal dalam bucket-list saya, dalam what-to-do-before-die list. Gak ada yang menakutkan bagi saya, sedikit iya, tapi bukan berarti jadi terjebak dalam stigma “usia 30”. Dalam beberapa tahun terakhir, mungkin 4 atau 5 tahun terakhir, saya ingin bisa memberi makna lebih dalam kehidupan yang saya jalani, saya merasa semakin perlu berbagi. Saya merasa semakin beruntung dalam hidup, saya semakin tahu, bahwa saya beruntung telah dijaga oleh banyak hal, bisa menikmati hidup, dan tetap dapat bersenang-senang.

Bercerita tentang 30, saya mengenal banyak wanita-wanita hebat di sekeliling saya kok yang tetap bahagia dengan pilihannya. Dengan apa yang mereka sudah lakukan dan belum mereka capai setelah melewati usia 30. Apakah lantas mereka tidak bahagia, saat orang-orang belum melihat mereka mencapai tahapan “orang-orang umum”, pandangan nyinyir mereka yang tidak bahagia, atau mereka yang menyesal bagaimana menjalani usia 30 mereka dengan terburu-buru, dan sejenisnya sampai merasa tidak bahagia. Saya melihat mereka tetap dapat bersenang-senang, bahagia, urusan sebenarnya lain yang dirasa, biarkanlah. Toh mereka tidak mengeluhkannya, malah tetap berdiri tegak dengan segala prestasi yang mereka punya, saat orang-orang bodoh itu member stigma tertentu. Lalu siapakah mereka yang berhak menentukan apa yang pantas dan tidak pantas, apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan, di usia yang katanya terbilang mulai memasuki masa rawan.

Aaahhhh, perduli apa sama mereka yang kerap mengungkapkan hal demikian. Saya hingga kini pun masih belajar untuk tidak terlalu tenggelam dengan hal-hal yang malah semakin membuat saya takut. Bohong kalau dibilang saya tidak khawatir, bohong juga kalau dibilang saya baik-baik saja. But, if I’m scared do people got the right to tell me what to do? I don’t think so. Sesama remah-remah rempenyek, cokelat cair sisa yang menempel di pinggir Loyang, atau bubuk susu manis sekalipun, seharunya saling membantu bukan? I’m so ready, going to embrace being 30.

Ps: photo taken at breakfast in fast-food restaurant, being so sleepy because woke up at 4.30 and just wanna write something after that. Beluuuum mandi!!!

7.00, Jakarta Selatan, 1 Oktober 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline