[caption caption="relief miring museum Ullen Sentalu! bahagia :)"][/caption]Rasa malas memang kadang bisa menguasai segalanya, sudah dalam beberapa Minggu atau bahkan keterangan waktu dalam ‘Bulan’ hal ini saya alami. Mulai dari malas berolahraga, (semakin) malas berbasa-basi busuk sama orang lain, hingga malas menulis, dan berbagai jenis hal lainnya. Anggap saja saya sedang menikmati hidup dengan cara berbeda.
Mengutip seorang kawan “lagi mau punya me time ya?”. Well, begitulah. Hidup yang di jalani hari demi hari, apabila ingin di nikmati harus dengan ‘kebesaran hati’ yang luar biasa. Setelah mengumpulkan semua kekuatan bulan, voilla jari-jari ini kembali menari di atas papan ketik guna merapikan setiap draft tulisan yang pernah di buat dan menjadikannya sebuah tulisan lain. Are you ready? Kenapa harus ready, karena tulisan ini akan lebih panjang dari tulisan-tulisan sebelumnya.
Selamat pagi kembali sudut kota Jogja. 23 November kala itu, di tengah cuaca terik hari Minggu. Hari kedua saya berada di kota yang terkenal dengan panganan khasnya, Gudeg. Setelah banyak tenaga yang terkuras di hari pertama, akhirnya saya bisa menikmati malam dengan tidur yang ‘cukup lumayan’. Semangat liburan terus di kobarkan, dan berarti saya mengorbankan waktu tidur yang bagi saya cukup berharga. Kala penunjuk waktu berada di angka 6, sepertinya saya sudah membuka mata dan masih terselip pertanyaan ‘so, im really in Jogja by my self?’. Mungkin bukan sesuatu yang cukup keren untuk dibanggakan, namun saya menikmati setiap langkah-langkah kaki yang bepergian.
First stop pagi itu, cukup sederhana, menikmati sarapan pagi di depan hiruk pikuk Pasar Beringharjo. Sudah terbayang pecelan depan pasar yang ramai dengan berbagai macam orang dari berbagai kalangan, berbagai usia, baik pria maupun wanita. Duduk manis dan memesan 1 porsi pecel kepada ibu-ibu penjual yang berbahasa Jawa. Riuh, berisik, ramai oleh lalu-lalang manusia; mungkin sebenarnya membuat sebagian pengunjung tak nyaman. Tetapi tak apalah, toh setiap kota maupun daerah dengan kebiasaannya masing-masing mempunyai kelompok penikmat sendiri.
Hingga saat ini saya masih menikmati dengan baik setiap “kegaduhan” yang ada pagi itu. Kegaduhan yang tercipta tidak mengganggu saya, hanya sekedar menggelitik saja. “Nikmati waktu yang kamu punya sel, nikmati apa yang terjadi di sekelilingmu”, gumam saya dalam hati. Perjalanan pagi untuk mengisi perut itu membuat ingatan saya kembali tertarik ke belakang, saat pada skema waktu yang sama saya juga menikmati kebersamaan dengan rekan-rekan yang pernah menghabiskan waktu bersama saya di kota Jogja.
[caption caption="Pecelan depan Beringharjo, gak pernah ketinggalan"]
[/caption]Perut kenyang hatipun senang. Membekali diri dengan air minum dalam kemasan yang memang menjadi barang wajib bagi setiap traveller, saya memutuskan kembali berjemur di tengah panasnya sudut kota Jogja. Terdekat dari Pasar Beringharjo ada objek wisata sejarah yakni Museum Benteng Vredeburg. Mengutip dari mbah. Google, Benteng Vredeburg Yogyakarta awalnya di bangun sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan residen Belanda kala itu.
Pendirian Benteng Vredeburg juga terkait erat dengan lahirnya kasultanan Yogyakarta. Kini benteng yang sudah berubah menjadi museum dan objek wisata, menyajikan berbagai cerita mengenai sejarah Indonesia. Melalui lukisan dan diorama, pengunjung museum di ajak untuk mengenal sejarah lebih jauh. Menarik bukan? Ya setidaknya menarik bagi penikmat wisata sejarah. Menyelesaikan tur singkat di Benteng Vredeburg, dan menggantinya dengan tiket masuk seharga beberapa ribu rupiah, saya memutuskan berkeliling pusat kota Jogja. Tak banyak hanya melangkahkan kaki dan menyapukan pandangan ke kawasan sekitar kantor pos, maupun taman pintar.
Matahari tepat berada di atas kepala saya rasanya siang itu, panas terik membakar semuanya. Dan saya memutuskan kembali sebentar ke penginapan, guna selanjutnya bersiap menuju kawasan lainnya. Dengan menggunakan sepeda motor sewaan seharga 50k (*setelah melalui hasil tawar-menawar) per 24 jam, dan berbekal Google Maps di smartphone yang saya banggakan, saya berencana mengunjungi museum Ullen Sentalu. Ohh iya, google maps yang saya gunakan ada di handphone keluaran Korea alias Samsung, setelah sebelumnya BB Maps membuat saya frustasi dengan rute yang ‘terkesan’ membuat saya nyasar. Perjalanan tidak mudah, buta kawasan Jogja sama sekali, ternyata Museum Ullen Sentalu berada sekitar 25 kilometer dari pusat kota tepatnya di kawasan Kaliurang, Sleman, Yogyakarta. Salah memasuki tikungan, berkali-kali memasuki arah yang tidak tepat, akhirnya dengan bangga, rasa bahagia, senang, serta bercampur aduk dengan rasa dingin yang menusuk, saya bisa tiba dengan selamat.
[caption caption="selamat datang, di Museum Ullen Sentalu!!!"]
[/caption]Touch down!! Kembali saya akan sedikit memamekan ilmu sejarah tentang Ullen Sentalu, lantaran baru saja mengikuti wisata sejarah lainnya . Museum Ullen Sentalu; Museum Seni dan Budaya Jawa, papan nama itu tergantung saat kita ingin memasuki museum Ullen Sentalu. Aaahhh mana ilmu sejarah yang mau di bagi? Sebentar lagi mungkin. Dengan tiket masuk seharga 30k, pengunjung museum akan di ajak berkeliling museum oleh pemandu atau bisa juga di sebut edukator. Harga tiket juga sudah termasuk Jamu Ratu Mas yang akan disajikan di tengah-tengah acara berkeliling museum. Harga tiket memang terbilang mahal, namun setelah masuk dan disajikan dengan berbagai arsitektur indah di dalam museum, rasanya cukup setimpal.
Tidak seperti museum lain yang terkesan kuno dan membosankan, di Ullen Sentalu – yang dikelola oleh pihak swasta - kita bisa menikmati berbagai macam karya seni. Tentu saja tidak lupa sejarah kesultanan Yogyakarta, Solo / Surakarta. Setiap sudut Museum Ullen Sentalu, menyajikan nilai budaya dan seni yang tinggi. Sedikit saya beritahu, saya jadi tahu tentang Ganesha, Hamengku Buwono, Sejarah Batik, legenda tentang penari ke-9, dan sedikit di sana-sini tentang kesultanan di daerah istimewa ini.