Ritual awal menanam tembakau atau lebih dikenal Among Tebal, telah menjadi tradisi yang setiap tahun dilaksanakan oleh desa-desa di sekitar lereng Gunung Sindoro dan Sumbing. Pun tak terkecuali di Desa Candisari Kecamatan Bansari Kabupaten Temangggung yang berada di lereng Sindoro ini juga melaksanakan acara Among Tebal.
Penetapan hari ritual yang berbarengan dengan acara Sadranan (pembersihan makam desa) dan Ruwahan (acara kirim doa untuk arwah para leluhur di bulan Sya'ban) itu telah disepakati pada Jum at Wage terakhir sebelum memasuki bulan Ramadhan. Dan Juma'at Wage terakhir itu jatuh pada tanggal 4 bulan Mei 2018.
Acara dimulai dengan bersih-bersih makam desa oleh semua warga. Lalu membaca doa Tahlil dan Yassinan di masjid desa. Dilanjutkan dengan mengarak dua tumpeng besar sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan keberkahan pada warga desa. Tumpeng pertama berisi nasi dan lauk pauk terdiri dari sayur urap, mie goreng,tempe bacem ikan goreng dan juga tiga macam telur rebus, telur puyuh, telur ayam kampung, dan telur angsa.
Yang unik dari tumpeng nasi di desa Candisari ini adalah adanya Nasi Golong, yaitu nasi yang dikepal-kepal menjadi bulatan sebesar kepalan tangan orang dewasa (disesuaikan dengan besarnya tumpeng, semakin kecil tumpeng, semakin kecil nasi golongnya).
Filosofi Nasi Golong adalah kata golong yang artinya menggumpal menjadi satu diharapkan semua warga selalu bersatu menghadapi setiap rintangan dalam kehidupan ini, apapun agama dan keturunannya. Tumpeng kedua berisi aneka sayur dan juga hasil bumi warga setempat, seperti kacang panjang,sawi,kentang,tomat,cabe, bawang merah, bawang putih dan lain-lainnya. Tak ketinggalan bunga dan daun tembakau sebagai hasil utama dari pertanian warga.
Arak-arakan berakhir di sebuah candi peninggalan jaman Mataram yang oleh warga setempat disebut Gumuk Kembangsari. Arakan tumpeng diikuti oleh sesepuh desa dan para perangkat desa seperti Bapak Camat, Bapak Lurah, para Kepala Dusun dan juga warga setempat yang membawa tumpengan kecil dan seekor ayam yang dimasak utuh (ingkung) untuk dimintakan doa.
Di Gumuk Kembangsari, ritual inti pun dilaksanakan. Dimulai dengan penyampaian wejangan dari Bapak Camat dan Bapak Lurah yang berharap bahwa acara semacam ini yang sudah menjadi tradisi para leluhur sebaiknya jangan ditinggalkan oleh para generasi muda, sebab acara ini penuh dengan filosofi yang bisa menjadi pegangan dalam kehidupan bermasyarakat.
Termasuk juga dalam filosofi Tumpengan yang bentuknya selalu mengerucut ke atas. Bahwa hal utama adalah tidak melupakan Sang Pencipta Yang Agung, Yang Maha Tunggal. Setelah itu doa yang dipimpin oleh pemuka agama setempat dan diaamiini oleh semua warga yang hadir, berlangsung hening dan khusyu.
Selanjutnya acara mencuci cangkul keramat atau disebut Jamasan, ritual ini kemungkinan tidak akan dijumpai di acara semacam ini di desa lainnya. Cangkul yang merupakan warisan dari Eyang Turgayasa - Tumbung Waranajaya, leluhur yang dipercayai oleh warga telah sampai pada tingkat Moksa. Eyang Turgayasa ini hidup pada jaman Raden Sanjaya di kerajaan Mataram Kuno.
Pencucian cangkul dilakukan oleh sesepuh desa yang mengerti sejarah adanya cangkul tersebut yaitu Bapak Sudarno. Adapun filosofi dari pencucian cangkul menurut sesepuh setempat bernama Bapak Sareng Widodo adalah dalam kehidupan ini kita wajib menghormati apa yang ada di sekitar kita, entah itu yang bernafas ataupun yang tidak. Cangkul adalah alat vital yang telah membantu kita dalam melakukan cocok tanam. Dengan pencucian cangkul ataupun benda lain kita akan bisa menjaga keawetan alat tersebut.
Setelah ritual mencuci cangkul selesai, dilanjutkan dengan penanaman tembakau secara simbolik oleh sesepuh dan perangkat desa yang diawali dengan doa oleh Bapak Camat.