Kemarin, kau masih di sini, temani malamku dalam satu cengkrama tanpa jarak. Kau duduk tepat di depanku, melagukan syair-syair cinta. Kalbu ini terkapar dalam rasa yang tak lagi bisa kukatakan selain gumam diri bahwa aku sangat mencintaimu, lelakiku. Kita berdua larut dalam penyatuan rindu yang telah lama mendera jiwa. Kamu dan aku larut dalam hasrat yang tak terbendung oleh semesta.
Kemarin, terucap janji antara kita berdua. Dalam suka cita kau katakan bahwa akulah satu-satunya cinta sejatimu, sampai ajal kelak menjemput Meski ragaku bukan milikmu, meski takdir tak pernah benar-benar menyatukan ikatan cinta kita, sekuat apapun itu, kita tak mungkin bersatu.
Namun waktu akhirnya berbicara, kau harus pergi, tinggalkan aku. Sama seperti berpuluh musim yang lalu saat kau biarkan aku menunggu dalam kesendirian yang memerihkan hati. Maka, bagiku kini jarak menjadi sangat kejam, sebab memisahkan kita untuk yang kedua kalinya. Meski sejatinya dirimu tak ingin meninggalkan aku dalam tangis yang menyayat sembilu.
Yang membedakan kemarin dan bertahun yang lalu, adalah kepergianmu kali ini, membuat aku menyadari sejatinya kau bukan milikku. Sepotong hati lain telah menunggumu kehadiranmu dengan cinta yang syarat. Lalu, dalam kesendirian ini, aku hanya bisa membuka lembaran demi lembaran kenangan yang pernah kita cipta saat kita dipertemukan. Entah... apakah esok hari akan datang dengan takdir yang memihak padaku atau tidak?. Agar kamu bisa menggenapkan janji-janji kita. Aku hanya bisa menunggumu dalam gelisah yang tak terkata.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H