MOS (Masa Orientasi Siswa) atau yang sekarang disebut MOPS (Masa Orientasi Peserta Didik), yang setiap awal tahun ajaran baru selalu menjadi polemik hingga kini masih saja diberlakukan di kebanyakkan sekolah. Baik itu tingkat SMP, SMA ataupun Perguruan Tinggi
Tujuan awal dari MOS sebenarnya baik yaitu untuk pengenalan sekolah dan ajang melatih ketahanan serta mempererat pertemanan antara siswa baru dengan penghuni lama baik siswa lama ataupun guru-guru pendidiknya, serta memberi pelajaran budi pekerti.
Pengalaman dulu sewaktu mengikuti MOS/MOPD di SMP dan SMA memang menyenangkan, selain diberikan pelajaran tentang P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) kami para siswa juga diwajibkan mencari tanda tangan ke kakak kelas sebanyak-banyaknya. Tujuan dari meminta tanda tangan kakak kelas itu sudah jelas bahwa siswa baru "mengenalkan diri" pada kakak-kakak kelas.
Beruntung sewaktu SMP dan SMA, saya banyak mengenal kakak kelas sebe,umnya hingga tak ada kesulitan bagi saya mengumpulkan tanda tangan sebanyak-banyaknya.
Namun kemudahan saya, tidak terjadi pada beberapa teman seangkatan, selain belum banyak mengenal kakak kelas, mereka juga ada yang "kecil hati" minder, takut ataupun malu untuk meminta tanda tangan kepada kakak kelas. Karena ada sebagian dari kakak kelas itu menggoda atau mengerjai mereka terlebih dahulu.
Seiring berjalannya waktu MOS/MOPD semakin semarak dengan adanya "teka-teki" barang yang harus dibawa peserta, dandanan yang "nyeleneh" (tidak sewajarnya) ataupun perlakuan-perlakuan yang kadang diluar batas siswa sekolah. Seperti dibantak-bentak atau disuruh melakukan sesuatu namun selalu dipersalahkan hingga peserta harus mendapatkan hukuman panitia.
Untuk teka-teki barang yang harus peserta bawa biasanya orang tualah yang mendapatkan pekerjaan tambahan mencarikan barang tersebut, dengan harapan anak-anaknya tidak mendapatkan hukuman dari panitai MOS/MOPD.
Ada sesorang teman perempuan bercerita bahwa dia memendam rasa malu hingga waktu yang lumayan panjang hanya karena saat MOS/MOPD dia dikerjai panitia. Dengan mata tertutup dia disuruh merayu, namun setelah melaksanakan 'tugas" dia membuka penutup mata ternyata di depannya hanya sebuah ember, dan kejadian itu disaksikan semua peserta dan juga panitia.
Ada juga seorang peserta MOS/MOPD yang meminta pindah sekolah karena tak mampu lagi menahan malu dan sakit hati karena perlakuan yang dia dapat saat menghadapi MOS/MOPD tersebut.
Setiap anak pasti beda kepribadian, ada yang tangguh dengan bentakan-bentakan, ada "ngeper" minder atau bahkan ada yang sudah terbiasa menyimpan dendam jika mendapat perlakuan semena-mena, ini yang harus diperhatikan oleh pemerintah jika akan tetap meneruskan tradisi MOS/MOPD di setiap tahun ajaran baru.