Selpia Sutri Yani, nama yang disematkan padaku dan menjadi identitas sampai akhir hayatku. Terima kasih telah berjuang dan bertahan selama ini. Sudah 21 tahun usiamu tetapi terpaanmu sudah sangat besar. Kamu selalu dijadikan sebagai bahan "pembelajaran" bagi orang sejak kecil, dimulai dari tragedi 2004, tubuhmu tersiram air panas dan berbekas hingga tumbuh dewasa. Lengan kananmu meninggalkan sejarah yang sampai sekarang jika orang memegangnya dan selalu bertanya "ini kenapa?". Kerabat keluargamu jika mulai membicarakan ini sambil memperhatikan anak mereka yang juga masih kecil kemudian dengan ringannya berkata "dijadiin pembelajaran aja berarti harus lebih lagi kalau jagain anak kecil". Hati kecilku berucap "kalau bisa pilih aku tidak akan mau jadi bahan pembelajaran seperti ini", namun apalah daya hati kecilku terlalu kecil untuk terdengar bagi telinga mereka yang amatir.
Apakah bahan "pembelajaran" itu hanya sampai situ?, qadarullah tidak,
Sejak kecil aku telah akrab dengan telapak tangan yang dilayangkan ke tubuhku tanpa izin dan tanpa ampun, aku kenal benda untuk membersihkan rumah itu jua harus membersihkan amarah mereka yang belum siap menjagaku sejak dahulu. Lisan yang dianugerahkan untuk menyebarkan kebaikan justru disalahgunakan untuk menyayat hati. Lalu, tumbuh dengan telapak tangan, benda pembersih rumah, dan lisan itu. Hidup dengan amarah mereka itu membawaku pada lautan yang semakin menenggelamkanku tanpa dibekali pelampung untuk mencari kebahagiaan di ketepian.
Lalu apakah hanya itu "pembelajarannya"? qadarullah tidak.
Lautan ini sangat perih, sayatan di hatiku turut berbekas serta membesar lebar. Usia 20 tahun, lautan ini mulai mencapai dasarnya. Aku semakin sulit bernafas, di mana kah pelampung yang membawa kebahagiaan itu?. Rabku kemudian memberikan sedikit untaian untuk mengenalkanku dengan permukaan laut yang indah, Rabku juga mengenalkanku pada hamba-Nya membantu untaian itu lebih kuat untuk digenggam. Hingga saat ini pelampung itu belum bisa aku gapai aku hanya bertahan atas untaian Rabku.
Lalu apakah hanya itu "pembelajarannya"? qadarullah tidak.
"pembelajaran" selanjutnya saat Rabku menganugerahkan satu Hamba-Nya yang aku panggil adik, belum sembuh lukaku namun harus teringat dengan luka itu ketika adikku hadir. Untaian itu kini terasa lentur dan tidak lagi kuat. Lautan itu kembali menarikku ke dasarnya dalam waktu lama kemudian menggerogotiku dengan ikan-ikan besar menakutkan di dalamnya. Ketakutan menggerayangi, lukaku bertambah, sayatan itu semakin perih, aku berpikir apakah aku mati saja? Karena lukaku sudah terlalu banyak dan mengancam nyawaku.
Namun, Rabku tidak pernah meninggalkanku. Untaian-Nya tidak kalah besar dengan lukaku, obatku disertakan dari-Nya. "Pembelajaran" selanjutnya adalah dalam memaknai semua luka, dasar lautan, untaian, dan segala yang diberikan-Nya. Bertahanku hanya untuk-Nya, hidup dan matiku hanya untuk-Nya. Sesuai pada janji yang diulang sebanyak 77 kali untuk bertakwa dan akan terus memegang erat janji itu sampai Rabku menyediakan pelampung yang dahulu aku cari pada kehidupan yang abadi. Pelampung yang memperlihatkan luasnya lautan, indahnya kebahagiaan, dan sampai pada telaga yang dijanjikan. Dan hanya kepada-Nya aku kembali.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI