Tulisan ini saya bukan memprovokasi, mengkritik dan menurunkan martabat manusia bagi pihak-pihak yang menangani di bidang kesehatan, tetapi saya menulis berdasarkan kenyataan yang diamati, dialami dan dirasakan ketika berada di rumah sakit dan di lingkungan tempat tinggal. Tulisan ini diangkat berdasarkan diskusi dengan teman-teman seperjuangan diberbagai tempat. Entah itu di kost, asrama, kontrakan, di kampus, dan ketika duduk di pinggir jalanan. Berdasarkan diskusi itulah, saya terdorong hati untuk menulis artikel ini. Berbicara tentang kesehatan itu seakan alergi tapi sudah menjadi tanggungjawab terhadap keselamatan diri dalam kehidupan sehari-hari di dunia ini. Jika tidak menjaga diri, maka diri akan menyerang dengan berbagai penyakit dalam kerangka tubuh manusia. Pada awalnya penulis sampaikan bahwa dalam tulisan ini menemukan kesalahan menterjemahkan ataupun memberi pengertian tentang kesehatan dengan terlihat keliru, maka penulis sendiri menerima saran dan kritik yang membangun. Sehingga artikel berikutnya bisa memperbaiki dengan semaksimal mungkin.
Kesehatan berasal dari kata dasarnya adalah sehat. Sedangkan sehat memiliki gabungan dari imbuhan (awalan dan akhiran) menjadi kesehatan. Jadi, kesehatan merupakan salah satu cabang ilmu yang mengetahui tentang gejala sakit yang terjadi pada tubuh manusia, dan di lingkungan sekitarnya. Sedangkan sehat menurut penulis adalah sehat berbadan, dan sehat secara psikologis. Memaknai dua aspek, yaikni pertama sehat berbadan. Tentang ini, tentu setiap orang tidak merasa sakit apapun dalam tubuh manusia dan selalu ada rasa nyaman pada tubuhnya. Tidak merasa diserang dengan penyakit sakit kepala, penyakit Tuber Closis (TBC) atau paru-paru basah, HIV/AIDS, demam darah, buta warna, dan lainnya. Kedua, sehat secara psikologis, berurusan dengan jiwa raga manusia yang kerap terganggu dalam naluri, akal sehat, dan daya nalar yang semakin menurun. Bahkan orang merasakan kesedihan berkepanjangan dalam kehidupan ketika mengingat kembali orang yang sudah meninggal.
Dua aspek di atas merasa diri tidak terganggu dalam kerangka manusia, maka dipastikan menjalani segala aktivitas dengan aman dan lancar dan tanpa rasa sakit. Namun sayangnya, dirinya telah diserang oleh penyakit tertentu dalam tubuhnya maka dalam posisi itulah mencari pertolongan kepada pihak lain yakni rumah sakit. Sama hal juga dengan penyakit psikis kepribadiannya.
Dalam diri seseorang merasakan sedang mengidap penyakit dalam tubuh, ketika itulah pasien berusaha mencari tempat kesembuhan, yakni rumah sakit ataupun perawatan secara tradisional. Kadangkala dalam benak masyarakat awam, rumah sakit dimaknai sebagai tempat bengkel manusia. Artinya bahwa setiap pasien yang sudah diobati maupun yang belum juga memikir bahwa rumah sakit adalah satu-satunya tempat/unit yang mampu menyembuhkan penyakit yang sedang diderita oleh pasien. Rumah sakit dijadikan sebagai salah satu unit yang mengelola atau menjalankan misi keselamatan orang. Sehingga seseorang melukai ataupun tiba-tiba menderita sakit tanpa jejak datangnya sakit tersebut maka langkah yang harus diambil menjalani pemeriksaan kesehatan dalam tubuh. Agar harapannya untuk mengetahui sakit yang sedang di derita tersebut. Namun menjadi masalah, tenaga medis tidak mendalami atau menguasai di bidang pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit. Maka sangat terbuka jelas, itu celaka besar bagi pasiennya. Syukur saja bila tenaga medisnya menunjukkan kualitas pribadi dalam pelayanan cukup bermutu sehingga pasien secara umum bisa mengakui pada dirinya.
Tentunya pelayanan rumah sakit memiliki kualitas yang mumpuni bisa dipastikan bahwa pasien cepat sembuh dari pengobatan rumah sakit. Dan sebaliknya, kalau rumah sakit banyak orang yang meninggal maka bisa dikatakan manajemen dan kualitas pelayanan juga pasti buruk. Dengan adanya kondisi rumah sakit yang kian terpuruk terhadap kualitas layanan kesehatan. Tentu pemerintah daerah dalam hal ini kepala daerah dan dinas kesehatan turut memperhatikan dan mendukung penyediaan sarana-prasarana fasilitas kesehatan, dan merekrut tenaga medis yang betul-betul teruji secara kualitas yang dimiliki seseorang.
Dengan semakin ambruknya pelayanan kesehatan RS di Papua, maka marilah kita sama-sama tengok kembali melihat kualitas kesehatan di Papua yang sudah lama hilng mutu pengobatannya. Seperti apalah yang terjadi, sungguh sangat buruk nilai bobot pengobatannya. Memang publik sudah tahu bahwa Papua sedang melanda kematian terus-menerus yang disebabkan oleh kualitas pengobatan yang buruk. Terutama penyakit yang disebabkan dari hubungan seks, pengaruh pola makan, dan lingkungan yang tidak kondusif dengan menghirup polusi udara kotor, dikenai banyak kedinginan pada dada, merokok berlebihan yang kemudian menyebabkan pada serangan jantung dan impotensi gangguan janin, dan mungkin juga asap rokok dapat menyebabkan pada kehamilan anak. Sehingga anak yang dalam kandungan juga bisa terinveksi penyakit batuk, yang akhirnya anak tersebut berujung kematian.
Penyakit yang sering dijumpai dalam tubuh pada kondisi sekarang adalah lebih banyak orang Papua mengidap penyakit HIV/AIDS, TBC, jantung lemah, sesak napas, ambeyen, katarak, batuk, pilek, putus jantung (akibat meminum arkohol yang berlebihan), serta penyakit lain yang dapat kita jumpai di tengah masyarakat Papua. Jika disimak secara baik, soal penyakit tiga huruf alias HIV ini hanya bisa dapat mengidap melalui hubungan seksual, seharusnya kita bisa sadar dan hindari hal itu. Sedangkan, dokter sering mengatakan bahwa faktor lain yang dapat tertular penyakit melalui pakaian, gelas, piring, senduk, handuk, merokok, dan konsumsi alkohol. Tetapi penulis sebagai masyarakat awam kurang yakin karena penyakit itu dapat terinfeksi melalui tranfusi darah (hubungan berbadan). Mungkin saja, penulis tidak bantah juga bahwa sumber terinfeksi HIV bisa dapat tertular melalui pakaian yang sudah sebutkan diatas, selain melalui hubungan berbadan. Ini semua orang butuh kesadaran bersama agar menjahui dari penyakit berbahaya itu.
Banyak macam penyakit yang memakan korban bagi orang Papua. Selain penyakit HIV/AIDS bisa diobati di rumah sakit setempat dan juga diobati secara tradisional. Namun faktanya rumah sakit (RSUD/IGD) justru tidak mampu menyembuhkan penyakit sang monster itu. Orang Papua pergi berobat ke rumah sakit seakan menghantar mayat alias menyerahkan nyawa untuk meninggal dari rumah sakit. Karena rumah sakit tidak semua orang sembuh total dan tertolong nyawanya, dan ada yang selamat nayawa dari rumah sakit.
Penulis sebagai masyarakat awam mengakui bahwa para dokter, suster, mantri, bidan adalah tidak sepenuhnya Sang Raja penyelamat nyawa manusia Papua. Mereka juga manusia biasa yang dijalankan tugasnya sebagai profesi mereka, sesuai ilmu yang didapat sejak berada di perguruan tinggi. Jikalau terjadi kesalahan dalam pelayanan di rumah sakit dan pemberian obat pun salah-salah serta mencampuri bahan kimia lain dipastikan akan tidak selamat nyawanya. Bila terjadi hal tersebut, ini keterlaluan dan bisa dicap sebagai penjahat suka pembunuh manusia berkedok dibalik rumah sakit. Seringkali saya dengar dan sendiri mengamati bahwa di setiap rumah sakit di Papua banyak pemasalahan yang mudah kita temukan, mulai dari persoalan pelayanan, fasilitas alat-alat, kualitas obat, gedung bangunan itu sendiri, sampai pada keamanan, ketertiban dan kenyamanan bagi pasien. Selain itu, persoalan kenyamanan lingkungan setempat untuk menjamin hidup aman dan jauhi dari penyakit lingkungan seperti debu, asap kendaraan ataupun masalah sosial lainnya. Termasuk palayanan rumah sakit bernuansa politis ini juga bahaya bagi pasien.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H