Lihat ke Halaman Asli

sintesais

Fatum Brutum Amorfati

Jurnalistik dan Media Massa: Dari Propaganda dan Pengalihan Isu hingga Warta Nirguna

Diperbarui: 30 Mei 2021   20:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

zetetic.news

Dunia tulis-menulis juga disebut jurnalisme tak dapat dipisahkan dengan adanya media massa, seperti: koran, majalah, televisi atau semacamnya. Secara esensial, jurnalistik merupakan sesosok dokter kandungan dari terlahirnya kebenaran. Artinya, apa yang tak dapat disuarakan juga apa yang dirasa wajib diketahui oleh khalayak umum, jurnalisme hadir untuk mengeluarkan anak (re: suara) tersebut dari rahim keheningan.

Sayang sekali jurnalisme kita telah terdisrupsi oleh para oknum dokter tak berlisensi juga nihil kredibelitas yang membuka mal praktek, yang dampaknya pada anak-anak yang lahir tersebut mengalami kecacatan.

Apalagi jika kaitannya dengan era globalisasi seperti sekarang, di mana semua orang ingin ‘serba cepat’ dan serba elektronik —salah satunya perihal informasi. Tentu media-media akan berduyun-duyun menghadirkan warta atau berita.

Yang patut dikhawatirkan bukan dari segi kuantitasnya, melainkan kualitas dari informasi tersebut. Alih-alih menampilkan warta bermutu yang diharapkan akan menambah wawasan, (ini) malah menjadikan publik semakin bodoh disebabkan mengkonsumsi berita-berita tak berbobot tadi.

Ironinya tidak sampai di sini saja, media-media yang sepatutnya diberdayakan demi kepentingan bersama —kini sudah bercampur bersama dengan unsur dan kepentingan politis, seperti; digunakannya untuk alat propaganda, manipulasi massal, juga pengalihan isu.

“Jurnalisme telah mati!” Begitulah pandangan saya, tapi yang menjadi pertanyaan pokoknya adalah bagaimana “cara” jurnalisme itu mati. Inilah yang akan menjadi pokok dari pembahasan kita kali ini.

How Journalism Die?

Jika ada pertanyaan “Seberapa besar pengaruh media massa terhadap kontrol publik?”, tentu jawabannya, sangatlah besar. Ada beberapa alasan yang menunjang jawaban tersebut, pertama, kaum intelektual. Noam Chomsky memaparkan keberhasilan Presiden ke-28 Amerika Serikat; Thomas Woodrow Wilson dalam melakukan kontrol yang besar terhadap perubahan paradigma publik.

Hal tersebut dapat terjadi bukan karena pemerintahannya yang diktator, melainkan menggunakan cara yang lebih “elegan”, yaitu media —dengan membentuk komisi propaganda resmi pemerintah yang disebut sebagai Crell Comitte. 

Kondisi rakyat Amerika pada waktu itu sangat anti-perang dan merasa tidak ada alasan untuk terlibat dalam perang Eropa. Sementara Wilson memiliki andil dalam perang tersebut. Maka ketika pembentukan komite propaganda tersebut, tidak lebih dari enam bulan tim ini mengubah populasi —dari yang— anti-perang menjadi massa yang histeris dan haus perang, yang bernafsu untuk menghancurkan semua yang berbau Jerman, dengan alasan utama untuk menyelamatkan dunia.

Tentu saja keberhasilan ini tidak terlepas dari sosok di “balik layar”-nya; kaum intelektual progresif. Mereka (kaum intelek) menepuk dada dengan tulisan-tulisannya, dan menyihir rakyat dengan opini-opini bahwa dunia tengah dalam keterancaman fanatisme dan kekejaman bangsa Jerman.

Kedua, tak lain karena peran media itu sendiri. Sebagai alat, media massa tentu bukanlah suatu instrumen yang asing di tengah masyarakat modern. Seakan telah menjadi candu, setiap detik miliaran dari manusia tidak bisa lepas dari interaksi di media massa. Dan juga tanpa disadari perilaku konsumtif tadi telah mempengaruhi terhadap tingkah lakunya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline