Sayang, mengapa langit sore sering hitam akhir-akhir ini? Tanyamu, kala hidup semakin tak ramah.
Entahlah, jawabku. Tapi mungkin saja, Tuhan sedang cemburu.
"Tapi mengapa Tuhan harus cemburu, padahal ia pemilik segala-Nya?" Timpalmu.
Yaa, Tuhan itu Maha cemburu, melihat manusia, bukannya memanjatkan kidung pujian terhadap-Nya. Namun, kita lebih memilih memuja sore dengan senjanya.
Kasih, aku membuat sebuah puisi.
Maukah kau dengarkan ini?
Dan doa-doaku, akan senantiasa pulang—tepat di mana cinta selalu disemayamkan, meski mara mengarang, ia tak kan pernah terhalang.
Doaku, akan selalu menjulang—ke atas singgasana Sang Maha Cinta, dan tentu, ia tidak akan gusar meski diterpa awan dan para setan.
Dan begitulah jiwaku ini akan kembali—Menjulang ke singgasana-Nya, dan dipangku dengan cinta di depan perapian-Nya.
Namun tetaplah aku ini sebongkah tanah—ragaku akan tetap kembali bertahana, di bawah kaki-kaki durjana, yang suatu saat aku akan menjadi fosil bersama makhluk lainnya.
Dan suatu saat nanti, kasih. Jika hari itu telah tiba, pernah hidup dan pernah berjalan bersamamu adalah momen berharga di semesta ini.
Sampai jumpa dan terima kasih.