PENDAHULUAN
Menjelang Perang Dunia II, dunia berada dalam situasi geopolitik yang sangat tidak stabil, ditandai oleh kebangkitan fasisme di Eropa dan ambisi ekspansionis Jepang di Asia. Di Eropa, agresi Jerman yang dimulai dari Anschluss Austria hingga invasi Polandia pada 1939 memicu perang besar setelah Inggris dan Prancis menyatakan perang terhadap Jerman. Di Asia, Jepang, yang sejak Restorasi Meiji mengalami industrialisasi pesat, keterbatasan sumber daya alam. Ketergantungan Jepang pada impor bahan mentah, seperti minyak, karet, dan timah, semakin tertekan akibat embargo Amerika Serikat dan sekutunya. Kekayaan sumber daya alam Asia Tenggara terutama minyak bumi di Indonesia serta karet dan timah di Semenanjung Malaya Jepang menjadikan kawasan ini target strategis. Selain itu, wilayah ini menawarkan jalur pelayaran penting seperti Selat Malaka, yang krusial bagi logistik militer dan perdagangan. Jepang mempropagandakan visi "Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya" sebagai pembebasan Asia dari kolonialisme Barat. Namun, seperti dijelaskan dalam Ekonomi Politik Jepang di Asia Tenggara (Faris Al-Fadhat, 2019) dan Jepang dan Asia Tenggara (Paul H. Kratoska, 2002), realitasnya Jepang menggantikan kolonialisme Barat dengan imperialisme yang lebih eksploitatif. Setelah menyerang Pearl Harbor, Jepang melancarkan invasi ke Asia Tenggara, merebut Filipina, Malaya, Singapura, Indonesia, dan Burma dengan memanfaatkan lemahnya pertahanan kolonial Eropa. Tujuannya adalah menguasai sumber daya alam, menghapus pengaruh Barat, dan memperkuat posisi di Asia-Pasifik.
PEMBAHASAN
Latar Belakang dan Tujuan Pendudukan Jepang di Asia Tenggara
Restorasi Meiji pada tahun 1868 menandai awal transformasi besar di Jepang. Negara ini berfokus pada modernisasi melalui adopsi teknologi dan teori dari Barat. Jepang berhasil memperkuat kemampuan industri dan militernya, tetapi modernisasi ini tidak lepas dari tantangan besar. Sebagai negara kepulauan dengan keterbatasan sumber daya alam, Jepang sangat bergantung pada impor untuk mendukung ekonominya. Ketika negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, memberlakukan embargo minyak, Jepang menghadapi krisis energi yang serius. Selain tekanan eksternal, Jepang juga mengalami berbagai masalah internal, termasuk kepadatan penduduk, keterbatasan pasar untuk hasil industrinya, dan pembatasan imigrasi ke negara Amerika Serikat dan Australia. Jepang juga mengalami krisis identitas akibat pengaruh budaya Barat yang semakin mendominasi. Untuk mengatasi masalah ini, muncul nasionalisme baru yang dikenal sebagai Nihon Seishin atau semangat anti-Barat. Ideologi ini mendorong Jepang untuk menegaskan dirinya sebagai pemimpin Asia. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Jepang mengembangkan konsep Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya, yang mengklaim akan membebaskan negara-negara Asia dari kolonialisme Barat. Namun, pada kenyataannya, konsep ini lebih berfungsi sebagai alat propaganda untuk mendukung ambisi ekspansionis Jepang.
Asia Tenggara menjadi target utama Jepang karena kekayaan sumber daya alamnya, seperti minyak di Borneo dan Sumatra, karet di Malaya, serta beras di Indocina dan Thailand, yang sangat penting untuk mendukung ekonomi dan militernya. Setelah upaya diplomasi dengan Sekutu gagal, Jepang menggunakan kekuatan militer untuk menguasai wilayah ini. Pendudukan Jepang memiliki lima tujuan strategis: mengamankan sumber daya alam, memperkuat posisi militer di Asia Pasifik, mengusir pengaruh Barat, memobilisasi tenaga kerja melalui kerja paksa (romusha), dan mengontrol stabilitas ekonomi-politik melalui mata uang militer dan organisasi lokal seperti PETA. Langkah ini mencerminkan strategi Jepang untuk mengatasi krisis internal dan membangun hegemoni di kawasan.
Strategi Militer
Jepang menyadari bahwa untuk menguasai Asia Tenggara, mereka perlu menghitung kekuatan sekutu yang telah menguasai wilayah tersebut. oleh Karena itu, Jepang berusaha mendapatkan lisensi atau jaminan dari sekutu melalui perundingan, namun selalu berujung kegagalan. Menghadapi kenyataan ini, Jepang memutuskan untuk menggunakan kekuatan militer. Sebelum menghadapi peperangan, Jepang perlu mengorganisir sumber daya ekonomi negara, merencanakan operasi militer ke Malaya, Indonesia, Filipina, dan juga wilayah Papua New Gini diserahkan ke Angkatan Darat, serta melakukan pelatihan pada Angkatan Laut untuk menyerang Pearl Harbour yang menjadi benteng kawasan Asia Tenggara.