Selamat hari pendidikan nasional...
2 Mei adalah tanggal lahirnya Bapak Pendidikan Indonesia yang juga figur pendidik favorit saya, Ki Hajar Dewantara. Terima kasih atas jasamu Pak. Pada momen penting bagi setiap pendidik dan murid ini, saya ingin berbagi kisah mengenai perjalanan selama 5 tahun bekerja sebagai guru SD dan sekaligus pendamping anak spesial.
Dimulai dari bulan Juni tahun 2018, setelah lulus saya mendapatkan penawaran di sebuah lembaga pendidikan dan klinik psikologi. Sekedar informasi, saya lulusan program sarjana Psikologi, bukan dari fakultas keguruan atau ilmu pendidikan spesifik lainnya. Sehingga teknik mengajar, apalagi pendalaman ilmu pengetahuan tentang suatu mata pelajaran tidak begitu dalam.
Motivasi awal saya akhirnya memutuskan bekerja di perusahaan swasta tersebut karena ingin mendalami ilmu dan pengalaman di bidang Psikologi Anak langsung dari ahlinya, dua orang psikolog yang berpengalaman dan jam terbang tinggi pada bidang psikologi klinis dan psikologi perkembangan.
Pertama kali kerja, saya ditugaskan sebagai asisten psikolog yang bertanggungjawab mendata pasien pendaftaran konseling (identitas, keluhan, identifikasi masalah psikologis), mempersiapkan tools psikologi yang dibutuhkan, dan membangun pendekatan dengan anak-anak yang menjadi kliennya. Banyak hal yang saya pelajari pada jabatan tersebut khususnya terkait masalah psikologis dan gangguan belajar anak.
Lembaga sekolah tempat saya bernaung dulu, menganut sistem Home-education. Konsepnya mirip seperti Home Schooling. Jumlah muridnya tidak terlalu banyak sehingga menguntungkan hubungan antara guru dan murid yang sangat personal dan privat dalam proses belajar. Beberapa bulan kemudian saya mendapat murid pertama, anak laki-laki berusia 3 tahun dengan masalah speech delay. Tidak lama hanya sekitar kurang lebih 3 bulan, orangtuanya memutuskan untuk berhenti karena alasan pribadi.
Lanjut, pada awal tahun 2019 seorang anak datang ke klinik kami dengan masalah trauma ke sekolah umum karena mendapat perlakukan tidak menyenangkan oleh gurunya. Setelah diperiksa psikologisnya secara mendalam, diketahui anak tersebut memiliki IQ superior (>130). Keunikan sekolah yang saya pilih untuk bekerja pada saat itu adalah menyediakan pendidikan khusus pada anak-anak dengan level IQ tinggi atau yang biasanya disebut anak gifted.
Selama proses konseling dengan orangtua, saya mengajak anak perempuan tersebut bermain dan belajar di ruang kelas. Banyak buku yang kami baca sambil dia bertanya mengenai hal-hal yang ingin diketahuinya. Singkat cerita, melihat interaksi positif antara saya dan anak perempuan tersebut, akhirnya orangtuanya memutuskan untuk menyekolahkannya di sekolah kami.
Tentunya dengan atas persetujuan anaknya juga. Mengajari anak gifted ternyata susah susah gampang. Banyak pertanyaan tentang "mengapa dan bagaimana" yang harus dijawab sampai ke akar-akarnya hingga rasa ingin tahunya terpuaskan.
Tidak lama setelah itu, sekolah kami kedatangan anak spesial yang kondisi awalnya belum teridentifikasi oleh orangtua. Seorang anak laki-laki, dengan kebutuhan speech delay dan sulit bersosialisasi. Hasil diagnosa psikolog adalah Autism Spectrum Disorder. Ia memiliki seorang kakak laki-laki dengan level intelegensi yang juga tinggi.