Kasta tertinggi dalam ekosistem pendidikan di Indonesia adalah murid berprestasi dengan nilai diatas rata-rata nyaris sempurna. Budaya ini diikuti dengan stereotip bahwa hasil belajar yang maksimal adalah ketika mendapatkan nilai bagus. Akibatnya, untuk mendapatkan nilai tes yang memuaskan, murid dituntut untuk mencatat dan menghafal alih-alih memahami apa yang dipelajari.
Tidak berhenti sampai disitu saja. Pengalaman belajar murid menjadi terbatas hanya pada apa yang didapatkan di sekolah. Rasa ingin tahu dan eksplorasi dunia luar menjadi kurang terstimulasi dan terarahkan dengan seharusnya. Ditambah dengan kenyatan bahwa penghargaan kepada murid dari orangtua dan lingkungan juga otomatis akan didapatkan jika ia berhasil memeroleh nilai rapot yang bagus.
Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, pendidikan Indonesia masih tertinggal jauh. Hal ini dibuktikan dengan hasil survei PISA yaitu sebuah rangkaian tes yang digunakan untuk mengukur kemampaun literasi, numerik, dan sains para murid. Survei tersebut telah diikuti oleh lebih dari 79 negara dan diadakan tiga tahun sekali. Indonesia sendiri sejak tahun 2000 telah berpartisipasi. Tes terakhir yang diadakan tahun 2018 lalu, Indonesia berada di posisi 74. Negara tetangga kita Singapura dan Malaysia memiliki peringkat jauh diatas Indonesia.
Belajar dari Finlandia melalui buku berjudul "Teach Like Finland" yang ditulis oleh Timothy D Walker berisikan catatan pengalamannya sebagai guru di Finlandia. Poin penting yang perlu digarisbawahi adalah Murid Merasa Bahagia Saat Belajar. Metode yang digunakan juga terbilang unik dan berbeda dari kebanyakan negara lainnya yaitu mengutamakan Well-Being murid. Selain itu, tidak digunakan sistem nilai angka pada rapot. Sebagai gantinya, guru berkewajiban membuat laporan deskriptif hasil perkembangan belajar murid.
Beban kerja guru di Finlandia lebih banyak mengambil berperan sebagai fasilitator yang menguji pemahaman murid terhadap topik yang sedang didiskusikan. Murid dibiasakan untuk mencari dan menemukan sendiri yang bertujuan menstimulasi kecakapan logika berpikir dan pemecahan masalah. Waktu istirahat yang sering (setiap 45 menit) dan beban tugas rumah yang sangat jarang menjadi nilai ekstra keunggulan pendidikan di Finlandia. Sederhananya, sistem pendidikan di negara seribu danau tersebut menjunjung ideologi banyaknya waktu luang murid akan membuat mereka lebih bahagia, serta meningkatkan daya pikir kreatif dan inovatif.
Kembali ke negara kita tercinta. Indonesia telah mengambil langkah penerapan sistem kurikulum merdeka yang dinilai menguntungkan. Penerapan kurikulum tersebut diikuti pula dengan sertifikasi guru penggerak yang menjamin kualitas sumber daya pengajar. Namun, kebebasan dalam menentukan arah proses belajar mengajar masih tetap memerlukan penetapan kebijakan yang relevan oleh level tertinggi yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Misalnya, keseragaman sistem penilaian hasil belajar.
Selama ini, pendekatan evaluasi hasil belajar murid yang digunakan adalah dominan secara kuantitatif (angka). Bagaimana jika pendekatannya diubah menjadi kualitatif? Tujuannya adalah agar orangtua dan murid secara khusus mendapatkan pemahaman utuh tentang perkembangan murid dari waktu ke waktu. Seperi perkembangan dalam aspek kognitif, sosial, keunggulan dalam mata pelajaran tertentu, penalaran pemecahan masalah, hal yang perlu dikembangkan/diperbaiki ,dan lain sebagainya. Aspek-aspek inilah yang perlu mendapatkan perhatian lebih dibandingkan hanya sekedar angka kelulusan. Lebih daripada itu, guru dan pengajar bisa lebih berfokus pada:
1. Pengembangan Diri Murid
Fokus hasil belajar perlu diubah dari yang semula memenuhi standar nilai rata-rata menjadi lebih personal terhadap kepribadian anak. Penting bagi guru dan pengajar mendorong anak memahami dirinya sendiri seperti pengembangan minat dan bakat, pemecahan masalah, kecerdasan emosional (EQ), mengenal kelebihan diri serta cara mengembangkannya, dan lain sebagainya.