Lihat ke Halaman Asli

Selly Mauren

TERVERIFIKASI

Penulis lepas

Dia Terasa Jauh, Aku yang Menjauh

Diperbarui: 13 Juni 2023   00:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.pexels.com/photo/woman-wearing-yellow-hat-with-feet-raised-sunbathing-on-shore-2663411

Dulu kita dekat. Sangat dekat. Berangkat sekolah sama-sama. Pulang sekolah juga sama-sama. Bahkan saling mengenal dekat keluarga masing-masing. Dia adalah orang pertama yang membuat saya merasakan arti sahabat. Saya menangis jika dia menangis, begitu pun sebaliknya. Hanya dengan bertatapan mata, kita saling mengerti maksud masing-masing. Mungkin itulah yang dinamakan telepati. Hingga suatu hari ….

Kita jarang bertemu. Keduanya sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing. Kesukaan kita mulai berbeda yang memengaruhi gaya hidup kita. Dia lebih sering bertemu dengan banyak orang, sedangkan saya hanya nyaman dengan beberapa orang yang sudah saya anggap teman. Tanpa sadar, jarak kita menjauh. Meskipun sesekali masih sempat bertemu, tapi terasa canggung dan tidak nyaman. Mungkin karena sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama. Ini wajar … 

Jarak semakin terasa jauh. Lama kelamaan kita memiliki nilai yang berbeda. Dia ingin hidup bebas sedangkan saya ingin membatasinya agar tidak kehilangan kontrol. Bagaimana cara saya memandang sesuatu sangat bertolak belakang dengannya. Entah apa yang terjadi. Mungkin kita sudah tidak cocok dekat seperti dulu? Siapa yang salah? Entahlah, saya tidak bisa menyalahkannya juga. Argumen sudah tidak terhindarkan. Keduanya sangat keras kepala dan mempertahankan ego masing-masing. Bagaimana bisa bertemu di tengah? Solusi tidak ditemukan. Akhirnya, kami saling menghindar. Ini lah perpisahan pertama dalam diam. 

Bulan berganti bulan. Kami belum juga kunjung berbaikan. Nyatanya, saya lebih memilih menghindar daripada menyelesaikannya. Mungkin ini yang terbaik, menjalani hidup sendiri-sendiri. Toh dia juga sama. Tidak ada usaha untuk berbaikan. Alhasil, perang dingin terus berlanjut. Dua orang dewasa secara fisik, tapi mental seperti anak remaja labil. Keras kepala dan merasa paling benar. Padahal saya melakukan itu untuk kebaikannya dan saya yakin dia juga sama. 

Menunggu dalam diam. Menunggu hingga ego luntur. Entah kapan. Hanya waktu yang akan menjawab meskipun mungkin sudah terlambat 🙂

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline