Saya tidak tahu dengan sebagian besar orang di luar sana. Apakah mereka memiliki masa lalu yang indah? Atau kah sebaliknya. Ketika berbicara tentang masa lalu, otak saya seperti sedang mengeluarkan berton-ton hormon dopamin yang memunculkan rasa bahagia, damai, dan tenang. Perasaan yang sudah lama tidak saya rasakan. Rasanya ingin memutar waktu kembali ke masa anak-anak. Masa dimana setiap harinya bermain dan bercanda dengan teman-teman sepermainan. Tertawa, berlari-larian, jatuh, menangis, dan tertawa lagi. Masa dimana banyak melakukan kejahilan dan kelucuan yang jika diingat kembali rasanya memalukan. Ya, itu lah proses belajar.
Bersyukur. Sebuah perasaan yang bisa didefinisikan sebagai bentuk penghargaan terhadap Tuhan dan diri sendiri atas berbagai macam pencapain walau sekecil apapun itu, sebaik apapun itu, dan seburuk apapun itu. Idealnya secara konsep yang sudah diajarkan sejak kecil. Namun, menjadi dewasa bukan hal yang mudah. Menghadapi dunia yang semakin hari semakin terlihat keaslian dan kepalsuannya. Tidak seindah saat dulu kecil melihat orangtua dan orang dewasa lain seperti tidak ada beban. Ya, mungkin itu salah mereka karena tidak membagikannya dengan saya. Apa manfaatnya juga jika waktu itu saya tahu kerumitan mereka? Apakah saya bisa memahaminya? hmmm.. saya pun tidak yakin.
Sifat dasar manusia. Bertumbuh dewasa mengajarkan saya memahami kerumitan orang dewasa yang dulunya saya pikir "enak ya punya banyak uang dan tidak dilarang-larang". Waktu kecil saya banyak dilarang. Tidak boleh ini, tidak boleh itu, kamu harus nurut, ini untuk kebaikan kamu dan perkataan-perkataan lainnya yang membuat saya merasa serba salah. Pada akhirnya, manusia tidak sebebas itu walaupun ia tidak memilih untuk dilahirkan. Meskipun saya mendukung bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang bebas dan punya hak-haknya, namun kita tidak akan pernah bebas. Sederhananya, setiap keputusan yang kita ambil akan selalu terikat dengan konsekuensi positif atau negatif. Semuanya saling berhubungan. Seperti simulasi game, kita hidup hanya saling mengamati satu dengan yang lain.
Terikat pada masa lalu. Mengapa? Banyak yang mencibir "kamu harus ikhlas. harus bisa terima kenyataan". Nyatanya, bukan tentang bisa mengikhlaskan atau menerima kenyataan. Melainkan masa lalu yang sudah membentuk diri saya yang sekarang. Baik dan buruknya itu meskipun sudah berlalu tapi pasti akan terus berpengaruh. Entah hanya sekadar muncul dalam ingatan sebagai pengalaman emosional bahkan memengaruhi perilaku saya yang sekarang. Kalau ada yang bertanya, "apakah kamu ingin terlepas dari masa lalu?". Jawaban saya, "Tidak. Karena itulah perjalanan hidup saya yang membentuk diri saya sekarang. Manis dan pahitnya sudah menjadi resiko. Toh saya masih bisa menjalani hidup sampai sekarang". Bagaimana saya bisa menghadapi dan mengakui masa lalu saya walaupun melalui banyak tantangan dan kerumitan ego sendiri, pada akhirnya saya berhasil dan bisa berdamai dengan diri sendiri. Ya, mungkin ini lah salah satu cara untuk bisa hidup tenang di masa kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H