Overprotective diartikan sebagai perilaku melindungi orang lain secara berlebihan, biasanya ditujukan kepada anak-anak. Insting orangtua secara umum adalah ingin melindungi anak-anak agar tidak merasakan sakit atau mengalami hal berbahaya lainnya.
Insting tersebut begitu kuat sehingga membuat orangtua lupa bahwa anak mereka juga adalah individu yang perlu belajar dan berproses melewati hal-hal yang tidak menyenangkan. Memberikan kesempatan kepada anak untuk mengalami rasa sedih, sakit, tidak berdaya, kebingungan secara lahiriah bukanlah suatu kejahatan.
Sebaliknya, jika mereka berhasil mengatasi situasi-situasi tidak menyenangkan tersebut akan memberikan pengalaman baru yaitu rasa bangga dan yang terpenting adalah rasa mampu menyelesaikan masalahnya sendiri (problem solving skill).
Apakah overprottective itu baik? Dalam beberapa kondisi, perilaku overprotective diwajarkan. Misalnya, menjaga kelangsungan hidup bayi (infant age). Melindungi anak dengan tujuan mengutamakan keselamatannya pada saat berada dalam lingkungan yang berisiko bahaya tinggi sangat diperbolehkan. Namun, jika orangtua selalu berusaha menjadi tameng untuk melindungi anak lantas saat ia dewasa dan hidup mandiri nanti, siapa yang akan melindungiya?
Tanpa disadari pola asuh overprotective secara tidak langsung menjadikan orangtua sebagai pemegang kontrol utama terhadap perilaku anak. Akibatnya, anak kehilangan kontrol akan dirinya sendiri sehingga berdampak pada perkembangan kepribadiannya menjadi pencemas, penakut, ragu, pemalu, rasa percaya diri rendah, dan insecurities lainnya.
Mengapa kebanyakan orangtua menerapkan pola parenting tersebut? Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terbentuknya perilaku tersebut. Diantaranya adalah peran emosi.
Emosi yang dominan dalam diri orangtua adalah cemas dan khawatir yang tidak teregulasi dengan baik. Disfungi emosi ini adalah hasil dari pemikiran negatif yang merupakan salah satu gejala anxiety disorder (gangguan kecemasan).
Gangguan kecemasan terjadi karena orangtua belum mampu mengembangkan strategi coping skill untuk menghadapi kecemasannya tersebut. Perlu diingat bahwa anak tidak bertanggungjawab atas kecemasan orangtua.
Hal sederhana yang sering dilakukan seperti tidak mengizinkan anak bermain di luar rumah karena orangtua akan sulit mengontrol merupakan contoh proyeksi perasaan cemas.
Singkatnya, hak anak untuk bergaul diabaikan supaya orangtua tidak cemas. Lalu bagaimana dengan perasaan anak? Contoh lainnya adalah orangtua panik setelah melihat anak menyeberang jalan.
Perasaannya adalah takut, kaget, khawatir, dan cemas sedangkan perilaku yang muncul adalah memarahi anak menyeberang jalan. Padahal, jika merasa cemas perilaku orangtua seharusnya adalah memeluk anak dan memastikan ia tidak mengalami luka parah.