Lihat ke Halaman Asli

Gadis Misterius Itu Temanku

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Duduk di teras rumah yang lembab di singgahi oleh butiran serbuk awan kelabu dan menyaksikannya adalah hobi ku. Di temani secangkir kopi yang tadi aku seduh, di sampingnya ada beberapa helai roti berselai coklat kacang yang hampir tiap hari aku lahap.

Serbuk awan itu kali ini tidak sendirian, di balik tirai besar membentang berwarna kelabu, aku mendengar beberapa kali halilintar yang berhasil membuat hati cemas dan orang-orang yang tadi nya di luar rumah sekarang terbirit-birit masuk ke dalam sambil berucap lahaulawallakuwataillabilah dengan mimik wajah satu-satu. Aku tertawa kecil melihat aksi monolog mereka. Perhatian ku tercuri oleh bunyi ponsel yang ada di atas meja tak jauh dari cangkir kopi ku. Dengan sigap aku mengambilnya, oh ada pesan aku membatin.

“jani,besok kopelan pembagian kelas udah di tempel kata ketos. Gimana kalau kita kesekolah? Biar seninnya gak repot nyari-nyari lagi juga biar dapat tempat duduk di depan, kalo kamu mau besok aku jemput!”

Pesan dari teman ku alif aku abaikan untuk beberapa saat “besok itu.. baju udah di cuci, di setrika juga udah, masak bukan jadwal aku. Hem... berarti besok aku free”aku membatin lagi dengan senyum yang mengembang 10 sentimeter yang menurut ku itu sangat manis. Aku segera membalas pesan alif dan menyetujuinya.

Weker doraemon ku berkali-kali berbunyi dan berkali-kali juga aku matikan. Aku kembali mendengkur sampai teriakkan bunda terdengar nyaring dan memekakkan telinga ku, sebenarnya teriakan itu bukan untuk ku. Tadi malam ayah minta bunda untuk membangunkannya sebelum jam setengan lima. Benar saja, sekarang weker ku menunjukkan jam lima lewat sepuluh menit. Aku bergegas turun dari tempat peristirahatan yang tidak aku dapatkan di kelas –sekolah ku.

“bunda hari ini aku mau kesekolah, mau lihat aku di kelas mana nanti teman aku jemput bun. Gak papa kan bunda?”

“ya sudah jangan lama-lama”

“oke bunda..”

Aku menarik sepiring nasi goreng yang ada di tangan bunda dengan manja, bunda hanya menggeleng-geleng. Karna ini memang kebiasaan ku.

Kelas XI MIA 5, kelas baru ini isi nya orang yang rata-rata tidak aku kenal, hanya beberapa. Sedangkan kelas alif, dari nama nya terlihat bagus tapi kata guru-guru tidak ada yang di beda-bedakan. XI MIA 1 , menurut ku orang-orang di kelas alif memang pintar-pintar. Semenjak di kelas baru alif sedikit sombong dan aku juga jarang bertemu dengannya lagi. Awalnya aku tidak punya niat untuk membalas, tapi akhir-akhir ini aku benar-benar tidak mood lagi berteman dengannya. Di tambah beberapa masalah antara aku dan alif, bukan apa-apa hanya salah paham.

Ningrum, teman sebangku di kelas X sepertinya menjadi teman bangku ku yang abadi, karna faktor belum kenal aku putuskan duduk dengannya lagi. Kami memang sudah akrab, dari dulu dan sekarang kami sudah hapal dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Karna kepribadian ku di kenal dengan “pendiam” nya buat aku canggung bergaul dengan mereka –teman satu kelas, hingga waktu berhasil mempersingkat kecanggungan itu. Walaupun masih belum bisa sedikit menyatukan pikiran.

Ada satu gadis yang buat aku penasaran, namanya Tia dari penampilannya dia terlihat seperti gadis tomboy yang jika marah akan menerkam mangsanya bak singa kelaparan. Sedikit sulit untuk dekat karna tiap kali bel istirahat berkoar, dia selalu ke kelas yang lain, mungkin teman akrabnya dulu ada di kelas itu. Karna murid kelas berjumlah ganjil, menyisakan satu bangku kosong dan yang duduk di sebelah bangku kosong itu tidak lain dan tidak bukan “Gadis Misterius” nama itu ada sebelum aku tau dia bernama Tia aini.

Iseng saja, aku melirik ke arahnya dan berharap dapat senyuman alhasil dia tidak menoleh sedikit pun.

“Hemm... lama-lama kasihan juga liat Tia sendirian tapi kalau di dekati susah banget ya rum,” ungkap ku bebisik takut-takut teman yang lain mendengar.

“iya sih jan, mau gimana lagi? Tau sendirikan tiap istirahat selalu gak di kelas!” jawab ningrum ketus.

Aku membalas dengan dehaman kecil, kebetulan hari ini jam pelajaran Ekonomi peminatan pak Man biasa kami panggil. Kalau sudah giliran pak Man, teman-teman yang lain secara ajaib mengatakan hal yang sama tapi dengan dua versi, versi satu “waktunya tidur” dan versi dua “waktunya ngegame”. Aku sendiri sedang asyik dengan tulisan ku yang rencananya akan aku bagikan ke media sosial. Bukannya tidak mau menghargai toh bapak nya saja tidak peduli dari pada aku tidur mendingan aku nulis. Lain hal nya dengan Tia, dia asyik sendiri dan sesekali menoleh ke arah pak Man tanpa mengindahkan pandangan ku.

Ke misteriusannya buat aku semangat untuk mengenal Tia lebih dalam tanpa melupakan Sahabat lama ku –ningrum. Kalimat Man Jadda Wa Jada yang aku terapkan dalam keseharian memang sangat ajaib. Waktu memang cepat berjalan sekarang antara aku, Ningrum, dan Tia sudah mendekati keakraban. Tia bukan lah tipe gadis yang tomboy, sama sekali tidak. Betul kata petuah penampilan itu bisa menipu.

Dia seorang penulis, dia lah yang membangkitkan semangat menulis ku yang pernah aku kubur hidup-hidup. Kami saling bercerita tentang rencana cerita-cerita yang akan kami tulis, tiap kali membahas itu Ningrum hanya mendengarkan tanpa banyak bicara.

Menurut ku, antara aku dan Tia itu punya sedikit kemiripan, pertama di kira sombong padahal tidak, dan selalu berusaha menahan amarah kalau tidak akan menjadi mata pisau yang baru saja di asah. Sampai tulisan ini tercipta aku tidak ingat apa yang mengawali cerita kami, yang jelas aku suka berteman dengannya dan menerima dengan ke-ikhlasan.

Aku tidak tau kejadian besok, lusa, minggu depan, bulan depan, bahkan tahun depan. Memperkokoh pondasi persaudaraan sama hal nya memperkokoh keimanan. Aku bukan cuma ingin menjadi seorang teman tapi juga ingin menjadi seorang contoh dan setiap contoh bisa menyatukan beberapa contoh. Yang ingin aku nyatakan saat ini adalah kita sahabat bukan sekedar teman karna, sahabat adalah keperluan jiwa yang mesti dipenuhi. Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau suburi dengan penuh rasa terima kasih. Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Kerana kau menghampirinya saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa memerlukan kedamaian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline