Ani dan Sita merupakan mahasiswi di sebuah perguruan tinggi. Ani adalah tipe mahasiswi yang suka berdandan dan memperhatikan penampilan, misalnya suka memakai baju dengan warna senada. Sementara Sita adalah mahasiswi yang tidak suka berdandan dan memakai baju lebih santai.
Suatu hari Sita berkata pada Ani, “Ani, kamu kok ke kampus selalu dandan dan bajunya selalu rapi. Kalau aku sih sukanya yang alami dan apa adanya. Kamu tidak percaya diri tampil apa adanya ya?”
Perkataan yang dilontarkan Sita merupakan salah satu contoh dari sifat internalized misogyny. Sita langsung memberi label Ani tidak percaya diri, hanya karena ia suka berdandan rapi saat ke kampus. Padahal, sebenarnya, mau berdandan atau tidak, itu bukanlah masalah besar. Dengan berdandan juga bukan berarti seseorang tidak percaya diri. Bisa jadi karena memang sudah terbiasa, suka melakukannya dan dengan tampil rapi juga salah satu cara menghargai diri sendiri.
Pengertian Internalized Misogyny
Internalized misogyny adalah perilaku yang sering terjadi pada perempuan. Perilaku ini terbentuk ketika seorang perempuan ingin tampil berbeda dari perempuan lain, ingin terlihat lebih keren, lebih spesial dan lebih segalanya. Sayangnya hal itu dilakukan dengan cara merendahkan perempuan lain.
Sifat seperti ini sering kita jumpai dalam keseharian. Hati-hati, barangkali secara tidak sadar kita pernah berada di situasi seperti ini! Sebagai seorang perempuan, harusnya bisa saling menguatkan perempuan lainnya, bukannya malah merendahkan atau membuatnya jadi tidak percaya diri.
Kenapa Internalized Misogyny Tidak Baik?
Ketika seseorang ingin meninggikan dirinya dengan cara merendahkan orang lain, percayalah hal ini hanya akan memberikan dampak yang buruk bagi sekitar. Seseorang yang direndahkan bisa kehilangan kepercayaan diri atau mengalami stress. Sementara sang pelaku lambat laun bisa dipastikan mengalami gangguan kesehatan mental.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Dawn M. Szymanski, Arpana Gupta, Erika R.Carr & Destin Stewart, menyatakan bahwa internalized misogyny berhubungan dengan seksisme dan gangguan psikologis wanita.
Seksisme biasa dikenal dengan pembagian gender yang kaku. Misal laki-laki cocok untuk menjadi pemimpin karena berpikiran rasional, dan perempuan tidak cocok menjadi pemimpin karena selalu mendahulukan emosi daripada logika. Laki-laki harus tampil tegas perkasa, perempuan harus lemah lembut.
Melalui pandangan yang seperti itu, tanpa disadari orang-orang mempersepsikan bahwa perempuan tidak pantas untuk menjadi seorang pemimpin. Padahal laki-laki atau perempuan, dua-duanya tetap bisa menjadi pemimpin.