Malang - Sebuah tragedi menyedihkan kembali terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Seorang mahasiswa berinisial MAS (24) dari Kepanjen, Kabupaten Malang, nekat mengakhiri hidupnya dengan menceburkan diri ke sungai Brantas. Insiden ini mengungkap realitas pahit tentang tekanan akademis yang berujung pada depresi dan bunuh diri.
AKP Gandha Syah Hidayat, Kasat Reskrim Polres Malang, mengungkapkan bahwa MAS, seorang mahasiswa semester 9 di salah satu perguruan tinggi negeri di Malang, mengalami depresi berat karena skripsinya yang tak kunjung selesai. "Dari keterangan keluarga, diketahui korban diduga mengalami depresi karena skripsi yang tidak bisa diselesaikan," ujar Gandha kepada wartawan pada Selasa (9/1/2024). MAS dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan sering menyendiri. Ini menunjukkan bahwa ada faktor kepribadian dan mungkin kekurangan dukungan emosional yang memperparah kondisi mentalnya. Rekaman CCTV menunjukkan bahwa pada 6 Januari 2024 sekitar pukul 03.01 WIB, MAS meninggalkan rumah dengan memanjat pagar, yang kemudian diketahui sebagai saat terakhir dia terlihat hidup. Mengkhawatirkannya, ini bukan kali pertama MAS mencoba bunuh diri. Pada pertengahan tahun 2023, dia sudah pernah mencoba mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Sungai Metro, tetapi entah bagaimana dia kembali pulang.
Kematian MAS seharusnya menjadi cerminan serius bagi semua pihak terkait. Pertama, beban akademis yang berlebihan tanpa adanya dukungan mental yang memadai dapat berakibat fatal. Mahasiswa yang terjebak dalam tekanan akademis sering merasa terisolasi dan tidak memiliki jalan keluar. Padahal, kampus seharusnya menjadi tempat yang aman untuk belajar dan berkembang, bukan sumber tekanan yang mengarah pada kehancuran mental. Kedua, pentingnya sistem pendukung yang kuat. Keluarga, teman, dan pihak kampus harus lebih peka dan aktif dalam memberikan dukungan emosional kepada mahasiswa. MAS yang dikenal introvert dan sering mengurung diri di kamar mungkin telah memberikan sinyal-sinyal yang terlewatkan oleh orang-orang di sekitarnya.
Terakhir, perlu ada kebijakan kampus yang lebih manusiawi dan mendukung kesehatan mental. Program konseling, pelatihan manajemen stres, dan akses mudah ke layanan psikologis harus menjadi prioritas. Kampus juga perlu mengadakan pelatihan bagi dosen dan staf untuk mengenali tanda-tanda depresi dan cara menanganinya. Kasus MAS adalah alarm bagi kita semua. Sudah saatnya kita berhenti mengabaikan kesehatan mental dalam lingkungan akademis. Dukungan dan perhatian yang tepat dapat menyelamatkan banyak nyawa. Mari kita tidak lagi membiarkan mahasiswa merasa bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain mengakhiri hidup mereka sendiri. Sumber: https://www.detik.com/jatim/berita/d-7132997/motif-mahasiswa-malang-bunuh-diri-gegara-depresi-skripsi-tak-selesai
Beban Akademis yang Mematikan Mental hingga Nyawa
Kasus ini menyoroti pentingnya dukungan psikologis bagi mahasiswa yang menghadapi tekanan akademik. Tugas akhir seperti skripsi sering kali menjadi momok yang menakutkan bagi banyak mahasiswa. MAS, yang telah berada di semester sembilan, merasakan tekanan ini begitu kuat hingga berujung pada keputusan tragis. AKP Gandha Syah Hidayat dari Polres Malang menyatakan bahwa keluarga korban mengungkapkan depresi MAS disebabkan oleh skripsi yang tak selesai dan ketidakmampuannya menyelesaikan kuliah tepat waktu. Tekanan untuk lulus tepat waktu dan tuntutan akademik yang tinggi dapat berdampak serius pada kesehatan mental. Institusi pendidikan harus lebih proaktif dalam menyediakan layanan konseling dan dukungan mental bagi mahasiswa.
Mengapa Tekanan Skripsi Begitu Berat?
Banyak mahasiswa mengalami tekanan besar ketika harus menyelesaikan skripsi. Beberapa faktor yang berkontribusi termasuk:
- Ekspektasi Tinggi: Tekanan dari diri sendiri, keluarga, dan lingkungan sekitar untuk lulus dengan nilai tinggi dan tepat waktu.
- Keterbatasan Dukungan: Kurangnya dukungan atau bimbingan yang memadai dari dosen pembimbing.
- Rasa Isolasi: Seperti MAS yang cenderung introvert dan sering mengurung diri di kamar, banyak mahasiswa merasa terisolasi selama proses pengerjaan skripsi.
Kesehatan Mental Mahasiswa: Isu yang Terabaikan
Tragedi ini membuka mata kita terhadap pentingnya kesehatan mental di kalangan mahasiswa. Kasus MAS bukanlah yang pertama, dan sayangnya, mungkin bukan yang terakhir jika tidak ada perubahan signifikan dalam cara kita menangani tekanan akademis dan kesehatan mental di perguruan tinggi. Mahasiswa sering kali merasa malu atau takut untuk mencari bantuan karena stigma yang masih melekat pada masalah kesehatan mental. Mahasiswa juga perlu diberikan ruang untuk mengekspresikan perasaan dan kekhawatiran mereka tanpa rasa takut atau malu. Menyadari bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi tantangan akademik dapat membantu mengurangi beban psikologis yang mereka rasakan.
Perlu Adanya Sistem Dukungan yang Lebih Baik
Institusi pendidikan memiliki tanggung jawab besar dalam menyediakan sistem dukungan yang memadai bagi mahasiswa. Beberapa langkah yang bisa diambil termasuk:
- Konseling Reguler: Menyediakan layanan konseling yang mudah diakses bagi semua mahasiswa.
- Program Pendampingan: Mengadakan program pendampingan atau mentoring dari mahasiswa senior atau alumni.
- Pelatihan Dosen Pembimbing: Melatih dosen pembimbing agar lebih peka terhadap tanda-tanda tekanan mental pada mahasiswa bimbingannya.